Mau Gak Mau, Bahasa Jawa akan Punah?

Iya.

Gak usah ngeles dengan bilang, “Nggak kok, di tempatku masih banyak yang masih bisa bahasa jowo.”

Gak sekarang juga mbak yu, sayang. Punahnya tuh nanti. Maybe 50 tahun lagi. Ketika gen Z sudah jadi kakek nenek.

DISKLEMER: TULISANKU INI GAK BISA DIPERTANGGUNGJAWABKAN KEBENARANNYA. SEMUANYA HANYA OPINI BODOHKU SAJA. JUST ENJOY READING DENGAN SENYUM OKAY! Haha

Kenapa kok punah?

Lihatlah sekeliling kalian deh. Balita-balitanya diajak ngomong pakai bahasa apa?

Gak usah harus ke Jogja, Semarang, Surabaya, atau kota-kota besar, wajar mereka gak pakai bahasa jowo karena penduduknya maybe lebih daiwers (diverse) alias beragam. Jadi mereka masih pakai bahasa campuran: jowo-indo supaya tetap rilet dengan lingkungan yg mixed culture karena banyak pendatang dari kalangan mahasiswa atau pekerja.

Tapi ini di Nganjuk bro! Iya, kalian gak salah baca: NGANJUK! Kurang ndeso apa lagi? Mall gak ada, mekdi gak ada, keefsi gak ada, haha.

Di Nganjuk sini, hampir 100% anak balita gak bisa omong jowo (ngoko). Semua pada pakai Bahasa Indonesia. Iya sih campur-campur jowo dikit. Tapi porsinya cuma 10% paling.

Kayak, paling cuman bisa “wis, emoh, sik” yang mana itu bahasa dasar jowo yang biasanya gak sengaja terucap sama orang tuanya karena bahasa default ortunya adalah boso jowo.

Sayakin bahasa jowo kayak “budal, adus, mulih” sudah punah di kalangan balita zaman now. Mereka taunya ya berangkat, mandi, dan pulang.

Bahkan kalau si anak ngajak ortunya bahasa jowo (yang kebetulan dia bisa sendiri dari mendengar obrolan ortunya), si ortu balas pakai Bahasa Indonesia. Jadi seolah-olah si anak gak dibolehin ngomong jowo.

Dan fakta membagongkannya adalah, kedua orang tuanya itu Nganjuk asli. Bahkan warga kecamatan. Jadi bukan Nganjuk kota (kalau Nganjuk kau anggap punya pusat kota haha).

Kalau ortunya blesteran, misal ayah Jakarta, ibu Nganjuk, masih wajar bahasanya indo. Karena mungkin biar semua paham dalam satu bahasa aja.

Yang jadi pertanyaan adalah..

Kenapa kok bisa gitu?

Gak tahu.

Tapi dugaan saya yg lumayan ngawur ini, ortunya malu ngomong sama anaknya pakai bahasa jowo. Karena bahasa jowo dikenal medok, ndeso, kampung, bahkan kasar. Jadi gak layak diajarkan ke anak kecil.

Alasan lain, memang bahasa jowo seribet itu. Pakai strata segala. Kalau si ortu ngomong sama anaknya pakai jowo ngoko, ntar anaknya juga ngomong sama ortunya pakai ngoko. Wicis itu sebenarnya gak boleh!

Anak kecil ngomong sama ortunya sewajarnya pakai bahasa jowo kromo inggil.

Si ortu mau ngajarin anaknya bahasa jowo kromo inggil pun kesulitan. Karena memang susah dan jarang dipakek di obrolan sehari-hari bersama ibu-ibu bapak-bapak sebayanya.

Bahasa Jowo Punah

So, dari pada memilih belajar bahasa jowo kromo inggil untuk diajarkan ke anaknya yg masih kecil, ortu-ortu zaman now lebih milih sekrol tiktok atau sosmed. Lalu memilih jalan pintas dalam berkomunikasi dengan anaknya, yaitu pakai Bahasa Indonesia.

Bahasa yang gak punya strata. Gak punya aturan saklek. Bisa dipake ke siapa aja. Muda ke tua, demikian sebaliknya, tua ke muda. Semua terasa sopan dan wajar.

So, ngapain harus belajar bahasa jowo yang kuno? Mending kapasitas otaknya dibuat belajar bahasa Inggris sekalian kan? Biar keren gitu anaknya bisa bahasa Inggris.

Walhasil, obrolan ibu dan anak kayak, “Mandi duluu! Hey! Jangan lari-lari! Kamu mau makan apa?” Adalah bahasa sehari-hari yang bisa kalian dengar di Nganjuk sini. Kabupaten kecil yang seharusnya masih kental budaya jowonya, terutama masalah bahasa.

Kabupaten lain yang bahasa daerahnya bahasa jawa, gitu juga gak ya? Aku jadi penasaran. Jangan-jangan cuman di Nganjuk aja? Huhuhe.

Aku sampe bikin postingan di Threads yang bisa kalian baca di sini. Postingannya viral. Banyak yg ngelikes, banyak yang komen juga. Di sana banyak sekali pendapat orang lain tentang bahasa jowo punah ini. Seru! Selamat membaca!

Cuman di blog ini aku pengen beropini sendiri. Karena ini blog pribadi. Sebebas-bebasnya aku berpendapat. Wahaha.

Aku pernah dikasih tahu sama siapa gitu, lupa, alasan ortu zaman now ngomong sama anaknya pakai Bahasa Indonesia adalah karena hiburan anak zaman sekarang kan nonton yutub, sekrol tiktok, yang mayoritas pakai bahasa Indonesia. Trus pelajaran di sekolah juga pakai bahasa Indonesia.

Sehingga si ortu berfikir kalau diajarkan bahasa jowo juga, buat apa? Toh gak bakal dipakai buat kehidupan sehari-hari. Pakai bahasa Indonesia semua orang juga paham. Jadi cukup satu bahasa aja ga, sih?

Alasan kepraktisan itulah yg bikin bahasa jowo bakal punah 50 tahun lagi menurutku.

Ketika gen z sudah jadi kakek nenek, otomatis anaknya jadi bapak ibu. Gen z gak mungkin ngajarin anaknya omong jowo karena alasan kepraktisan. Si anak, wicis ayah ibu, akhirnya gak begitu fasih bahasa jowo. Paling hanya bisa dikit-dikit kayak “piye, ning ndi, mangan” karena denger dari ortunya (wicis kakek nenek) yang keceplosan metu bahasa aslinya. Haha

Itu masih jowo ngoko yang kakek neneknya lancar ngomongnya. Bagaimana dengan bahasa jowo kromo inggil? Sudah pasti akan jadi bahasa artefak. Bahasa kuno. Bahasa pra-sejarah. Bahasa yang hanya ditulis di buku-buku yang sudah menguning kertasnya.

Gausah lah, ngeles dengan bilang, “Sekarang masih ada kok pelajaran bahasa jowo di sekolah”.

Iya kan, sekarang. Trus beneran diterapin di kehidupan sehari-hari?

Ingat! Kita belajar bahasa Inggris dari SD sampe SMA. It’s fucking 12 years! Tapi coba hitung berapa orang yg fasih ngomong berbahasa Inggris di negara Indonesia gelap tercinta ini?

Kenapa kok gitu ya?

Ya karena GAK DIPAKEK! Gak diterapin. Belajar bahasa tapi gak diterapin, buat apa?

Demikian pula bahasa jowo. Walaupun di sekolah diajarkan, tapi pas pulang ke rumah, ortunya ngajak bahasa Indonesia mulu, ya lama-lama lupa. Bahasa jowo sekadar menjadi bahasa hafalan. Yang setelah ujian selesai. Gak dipakek. Trus lupa. trus ilang..

Alasan lain kenapa ortu gak mau ngomong jowo sama anaknya adalah mereka gak mau bikin anak bingung pakai bahasa yg mana. Takut kena speech delay karena si anak pusing mikir ngomong pakai bahasa apa.

Wicis kekhawatiran itu sangat dipertanyakan!

Padahal kalau kita flehbek 20-30 tahun yang lalu, ortu generasi boomers, atau gen X, ngobrol sama anak-anaknya ya pakai jowo ngoko biasa (at least di Nganjuk dan sekitarnya ya!). Gak ada tuh ketakutan, gak ada tuh kekhawatiran anaknya bakal bingung ngomong pakai bahasa apa.

Tiba-tiba aja si anak paham kalau ini boso jowo, kalau itu bahasa Indonesia, bahasa Iggris, dst. Gak ada yg ngajarin satu-satu juga. Gak ada yg kalau ngobrol harus jelasin dulu di awal, “Yuk, kita ngobrol nggawe boso jowo!”. Atau, “Hari Senin full bahasa Indonesia ya!” Otak kita yg canggih ini tiba-tiba tahu aja perbedaan bahasanya. Walaupun masih balita.

Jadi menurutku, ketakutan akan si anak bakal bingung mau ngomong pakai bahasa apa, belum ada buktinya. Aku lebih bisa melogika kalau ortu zaman now (gen millenial, gen z) ngajak anaknya bahasa Indonesia karena alasan kepraktisan saja. One language for all.

Jadi bahasa jowo ngoko, kromo inggil, atau maybe bahasa daerah lainnya bakal punah adalah sebuah keniscayaan. Karena perubahan zaman, orang jadi berfikir lebih logis dan realistis. Ngapain belajar sesuatu yg “gak ada gunanya”?

Gak ada gunanya?

Coba deh kamu bikin konten video pakai bahasa jowo nyel. Trus upload di sosmed. Bandingkan dengan pakai Bahasa Indonesia. Bakal lebih banyak mana yg paham sama isi kontenmu?

Dari situ saja Bahasa Indonesia jauh lebih bermanfaat dibanding bahasa jowo.

Tapi satu hal penting yang Bahasa Indonesia gak punya: KEDEKATAN.

Sesama wong jowo ngomong pakai Bahasa Indonesia VS pake bahasa jowo, sudah dipastikan 90% lebih ngerasa deket kalau pakai bahasa jowo. At least itu yg aku dan beberapa orang jowo rasakan. Kalau pakai bahasa Indo tuh kayak ada jarak. Kurang deket.

Tapi buat apa kedekatan kalau zaman sudah semodern ini ya? Apalagi 50 tahun ke depan. Maybe orang bakal di rumah aja. Gak ada interaksi ketemuan. Semua bisa dilakukan via online. Via wircuel riyaleti (virtual reality).

KONSPIRASI

Aku pernah di-DM temen. Kalau elit gombal sengaja bikin manusia tidak deket. Mulai dari penggunaan bahasa. Ortu-ortu muda dibrainwash supaya malu pakai bahasa jowo ke anaknya. Atau dibrainwash pakai alasan kepraktisan itu tadi. Budaya yg mendekatkan sesama manusia, sengaja dikikis. Diganti budaya global yang semua orang bisa pahami dan nikmati.

Akhirnya hubungan ortu dan anak ya sekadar dua orang yg lahir dan melahirkan. That’s it. Gak ada ikatan batin. Gak ada ketulusan.

Kamu pikir ortu yg ngomong sama anaknya sendiri pakai Bahasa Indonesia itu tulus? Nggak lah. Ada kepalsuan di situ. Ortu yg biasa omong jowo, harus membungkus dirinya menjadi orang lain. Lalu berbahasa Indonesia ke anaknya. Si anak bakal menangkap enerji itu. Enerji kepalsuan.

Akhirnya si anak jadi nakal. Karena dia gak dapat ketulusan kasih sayang dari ortunya. Percayalah, pendapatku ini valid. Coba itung, berapa jumlah anak tantrum di zaman now sama zaman tahun 80-90. Itung deh.

Zaman dulu, walaupun oke lah si anak ngobrol sama ortunya pakai jowo ngoko yg kasar, tapi itu kan tulus. Itulah bahasa ibu. Itulah bahasa ortunya juga. Bahasa yang diturunkan dari kakek nenek, buyut, dan seterusnya ke atas. Perkara sopan gak sopan, tinggal dikasih tau. Selesai. Yang penting bahasanya dipakai. Bukan dihindari atas alasan gak sopan. Atas alasan gak praktis.

Toh, dengan memakai bahasa jowo ngoko yg kasar itu, kalau dikasih tau itu kasar, kan jadi belajar bahasa jowo yg lebih alus. At least yg basic aja. Kayak nggih, monggo, penyebutan angka-angka, harga, yang mana jowo kromo besik itu bisa dipake di kehidupan sehari-hari kayak beli sabun di warung kelontong tetangga.

Setidaknya, peluang bisa bahasa kromo inggil jauh lebih besar kalau kita bisa bahasa jowo ngoko kasar. Kalau ngoko kasar aja gabisa, apalagi yang alus?

Balik lagi..

So, dari kedekatan yang sengaja dikikis tadi, bangsa yang gak mau melestarikan bahasa daerahnya, akhirnya gampang banget dicerai berai. Dihancurkan. Disatukan. Satu order! Manusia jadi individualisme.

Kepalsuan yang diajarkan ortunya sejak dini tadi mendidik si anak untuk tidak gampang akrab sama orang lain. Gimana bisa akrab kalau ngobrol pakai bahasa “palsu”?

Terbukti kan, sekarang banyak konten sosmed tentang introvert? Karakter introvert diangkat sedemikian rupa, dipuja-puja. Orang yg introvert dibikin semakin bangga dengan keintrovertannya. Jadinya makin individualis. Gak kenal yg namanya gotong royong. Semua harus serba transaksional. Berteman harus untung. Gak ada pertemanan tulus. Hihihi.

Duh, kenapa tulisan ini jadi ke mana-mana?

HAHAHA. Mbuh wis. Pikiranku jadi bercabang ke mana-mana. Hahaha. Keknya harus diakhiri saja.

Kesimpulannya apa?

Ya balik ke judul. Bahasa Jowo mau gak mau bakal punah. Demikian juga bahasa daerah lain. Ribet soalnya. Urusan kedekatan juga ternyata gak dibutuhkan di zaman modern ini. Hubungan pertemanan langgeng juga gak bakal ada. Kalau berteman doang tanpa ada keuntungan, mending katof! (cut off).

Belajar bahasa daerah ternyata juga gak ada gunanya. Gak praktis. Gak bisa menjangkau lebih banyak orang dibanding bahasa Indonesia. Bikin si anak bakal dibully. Dibully medok. Katrok. Ndeso. Trus bakal kena mental health. Biaya sikolog mahal. Ntar kena Speech delay.

Pada akhirnya, semua ujungnya ke persatuan. Satu bahasa. Satu bangsa. Satu order. Gak boleh ada yg beda. Supaya gampang disetir. Disetir sama siapa?

Elit global gombal.

Akhirul kalam, semoga tulisan panjangku di atas SALAH SEMUA. Bahasa jowo gak akan punah! Akan tetap lestari sampe kapan pun!

Aku sebenarnya gak suka ngobrol sesama wong jowo tapi pakai bahasa Indonesia. Tulisan ini sebenarnya kutulis untuk menyiapkan mentalku kalau-kalau beneran boso jowo bakalan punah.

Udah ah. Bye.

Komen yuk kak!