Sahabat Itu Sederajat

Barusan aku disokor-sokorin sama teman kos waktu aku kuliah dulu. Karena dia baca status BBMku yang curhat habis diplokotho (dipermainkan) sama klien. Jasa limapuluh ribu saja kok revisinya dari jam 9 pagi sampe 11 malam! Khan aku jadi super jengkel. Kalau klienku itu bukan temen blogger lama, ya aku udah males nanggepin. Tapi aku sedih, blogger senior kok nentuin ukuran header blog aja kok gak bisa?

Oke lupakan.. Kita kembali lagi ke “sokor-menyokorkan” tadi..

Dan justru dengan disokorin (semacam di”rasain lu”in), aku kok malah tertawa sambil balas “Kampreeeet”. Lalu kami ketawa bareng. Kami berdua tahu kalau obrolan ini cuma becanda. Karena kami memang sudah kenal akrab dari dulu.

Beda lagi kalau balasan teman lama itu berupa, “Sabar ya ndop, semua pasti ada hikmahnya“. Jawaban seperti ini justru bikin aku merasa direndahkan. Kenapa? Karena semua orang juga tahu hal itu. Semua orang tahu kalau ketika marah kita harus sabar. Apalagi kita seumuran. Jadi kenapa harus sok menasehati, kalau aku sendiri cuma butuh mengungkapkan kekesalan di status BBM tanpa butuh nasehat?

Oke, aku mungkin type orang egois. Iya. Tapi di sisi lain, aku sangat menjunjung tinggi keakraban sesama sahabat. Dan menurutku, keakraban itu bisa dicapai kalau kita merasa sederajat. Tidak ada yg merasa aku leadernya nih, kalian teman-temanku adalah anak buahku, jadi harus nurut semua kata-kataku.

—–

Sokoooor... ” Begitu kata sahabat lamaku. Lalu dia bertanya kenapa. Aku menjelaskan dengan enak tanpa gengsi, tanpa ditutup-tutupi, tanpa pencitraan. Karena dia membuka obrolan dengan tidak gengsi juga, tidak sok peduli, tidak sok menasehati. Setelah aku curhat, kami ketawa bareng. Sama-sama menertawakan kebodohanku. And see? Jengkelku ilang!

Beda lagi kalau situasinya begini, “Sabar ya ndop, semua itu ada hikmahnya..”
Trus aku harus jawab apa coba, kalau nggak, “Makasih ya.. :)”

Nggak enak banget khan? Situasinya kaku banget. Kayak ngobrol sama malaikat. Dia malaikat, sementara aku di posisi kotor kayak ee’ yg dia injak. Kita sama-sama bau sekarang. Bau kemunafikan. And see? Jengkelku malah semakin meraja lela. Karena aku merasa kotor. Meraja keji.

—–

Mas ndop, kamu sekarang tinggal di mana, kerja apa?” Kata temen lama juga. Kayaknya dia lagi khilaf kalau aku ini temannya sekolah dulu. Bukan teman kerjanya yang asli Jakarta atau luar jawa. Dia juga lupa kalau kita seumuran. Kenapa musti manggil mas?

Aku saiki ndik Nganjuk. Dadi juru kunci. Hehe. Kerjo ndik omah ae kok. Biasa, ngingu tuyul. Awakmu butuh kerjaan gak? Iki enek lowongan njogo lilin. Hehehe.” Jawabku dengan bahasa yang sama kala kita masih sekolah dulu. Bahasa apa adanya. Tidak ada gengsi. Tidak ada yg dibungkus kepalsuan. Aku juga sengaja ngasih joke supaya kita ngobrolnya super enak.

Hahaha, kamu bisa aja sih Far. Sekarang kamu dah sukses ya. Kamu kerja apa sih Far? Desain ya? Aku kapan-kapan minta didesainkan buat rumahku ya Far. Gratis ya, sama teman sendiri. Hihi. ” Gratis gundulmu kuwi. Desain rumah bathukmu pecah. Ternyata dia memang khilaf kalau aku ini teman sekolahnya dulu. Dan dia masih menganggap aku ini dari luar jawa. Atau mungkin dikira bule dari luar negeri? Oke fine! Mari kita layani dia!

Haha, thank you for your appreciation. I’m just feeling happy right now. So, everybody say that I’m success. But actually, I do not feel succesful yet. I’m working as vector graphic designer right now. I can make your face turn into cartoon style. I’m not concern about interior, exterior or property design.” Kapok kowe! Tak jawab pakai bahasa Inggris sekalian. Saya tahu maksud dia berbahasa Indonesia itu cuma pingin pamer. Pingin meningkatkan derajatnya. Biar gak dikira ndeso. Biar kayak orang sukses. Biar dikira gajinya sebulan 10 juta.

Teman saya ternyata lama njawabnya. Mungkin dia beli kamus dulu di gramedia buat nranslate jawabanku tadi.

Eh, kayaknya dia sudah kembali ke netbook dia yg mereknya aksio buat mbales chat… Is writing message…

I’m sorry, I doesn’t understand must talk what again. Thanks :)” Ya amplop. Bahasa Inggrisnya kacau. Gak ngerti tobe. Sejak kapan ada kalimat I doesn’t? Sejak zaman dinosaurus makan tempe kedelai import, yang namanya I selalu diikuti don’t, bukan doesn’t.

Tiba-tiba kepalaku pening. Aku pun menghentikan chattingku dengan balasan, “:)“. Iya, senyum munafik. Senyum palsu. :)

—–

Dulu aku pernah diunfriend sama temen sekolah yang dulu akrab buanget. Cuma gara-gara aku bilang ke dia agar pakek bahasa jawa saja chattingnya. Bukan, bukan kromo alus ya. Jowo ngoko saja. Bahasa jawa sehari-hari kepada lawan bicara yg seumuran atau sederajat.

Dia tidak membalas. Ternyata saya diunfriend!

—–

Sebegitu pentingnya ya gengsi atau prestige di lingkungan kita? Melupakan esensi yg asli dari dalam. Yang diperbagus cuma kulit, kulit dan kulit luarnya saja. Sampai berlapis-lapis. Sampai esensi dari dalamnya lupa nggak disentuh. Hatinya jadi sempit, pengap, bahkan mungkin mati tidak bisa bernafas karena tertutupi kulit-kulit yg tiap saat dipertebal.

Iya, saya sedang mengritisi basa-basi yang semakin tak terbendung. Basa-basi itu sudah pasti nggak ada isi. That’s why aku suka sama Jokowi, ngomongnya gak pernah ada basa-basi. Sudah puseeeng.. sudah puseeeng.. sudah puseeeng…

Basa-basi membuat hubungan persahabatan jadi nggak sederajat. Nggak akrab. Nggak intim. Karena yang diomongin cuma kulitnya doang. Nggak menyentuh ke dalam. Nggak menyentuh hati. Mungkin banyak yg menduga kalau seorang sahabat yg nggak pernah bertemu lama itu “seolah-olah” nggak akrab lagi. Atau nggak perlu diakrabi lagi?

—–

Dan intinya saya kesepian nih. Sudah jarang nemu sahabat yang masih sederajat sama kayak dulu. Teman-temanku sekolah sudah banyak yg jadi bos. Ngomongnya angkuh sekali. Pamer ini itu. Kasihan yang belum merasa sukses, jadi minder kalau kumpul-kumpul sama temennya yg dulu.

Aku punya temen yang punya salon. Ketika dia aku ajak kumpul-kumpul, jarang sekali bisa. Mungkin karena sibuk. Eh, tunggu dulu, aku pernah bicara hati ke hati sama dia. Ternyata DIA MINDER. Padahal dia gak miskin loh. Tapi soal beda gaya hidup yg bikin obrolan jadi nggak nyambung.

Tapi saya nggak minder loh yaaa. Saya masih ngontel pakai sepeda United Dominate seharga 2,6 juta ketika ada temen sekolah yg ngajak kumpul-kumpul cangkrukan. Teman-temanku yg pada naik mobil pun tetap aku dekati dan aku tawarin vector ajak ngobrol.

Justru banyak yg terinspirasi sama gaya hidupku yang nyeleneh ini. Mengingat teman-teman yg seumuranku ini perutnya udah pada jauh ke depan semua. Mereka iri kali ya lihat bodyku yg seger dan awet muda ini. HAHAHA. *padahal selama ngobrol, aku sering-sering nahan nafas, xixixi*

sahabat
Udah ah, curhatnya selesai…

62 Comments

Komen yuk kak!