Mengucapkan “Selamat Natal”
|“Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir”
Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salam karya Muhammad bin Isma’il al-Kahlani (jilid IV, halaman 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syafi’i tidak memahami larangan tersebut dalam artian haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbas. Al-Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh ‘Alqamah dan al-Auza’i.
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhori dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu ‘Umar, yang menyampaikan sabda nabi bahwa orang yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalaamu’alaikum,” tetapi “Assaamu’alaikum,” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda“.
Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “‘Alaikum” sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka rerima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan itu)”
Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnyaa berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarnya, dalam Al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa:
Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS. Maryam [19]: 33)
Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.
Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Alloh”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kala Alloh ketika itu adalah Robbuka (Tuhanku, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlas.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat — Suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan“.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an tetapi kini perayaan dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan Isa,
“Sesungguhnya aku ini, hamba Alloh. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 30)
Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankan ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Alloh? Apa salahkan kita memohonkan curahan sholawat dan salam untuk Isa as., sebagaimana kita merayakan hari lahir (natal) Isa as? Bukankan Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyura’, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya,
“Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi), ” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa
(HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, melalui Ibnu ‘Abbas — lihat Majma’ al-Fawaid, hadits ke-2981)
Bukankan “Para Nabi,” sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., “bersaudara, hanya ibunya yang berbeda?” Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu?
Itulah, antara lain, alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalo demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan –sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain– maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Qur’an dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula.
Sahabat Nabi, Anas bin Malik, menyampaikan bahwa seseorang anak Abu Thalhah sedang sakit ketika Abu Thalhah harus keluar rumah. Saat kepergiannya itu, sang anak meninggal dunia. Ketika Abu Thalhah kembali dia bertanya kepada istrinya tentang keadaan sang anak. Istrinya (yang rupanya enggan kepada suaminya dengan berita sedih yang sifatnya dadakan) menjawab, “Dia dalam keadaan yang setenang-tenangnya.”
Tenteramlah hati suami mendengar hal itu, karena dia menduga bahwa anaknya sedang tidur nyenyak, padahal ketenangan yang dimaksud sang ibu adalah kematian. Bukankah kematian bagi seorang anak yang sakit merupakan ketenangan? Ketika Abu Thalhah mengetahui keadaan sebenarnya, dia melaporkan kepada Nabi saw. Beliau bertanya, “Apakah semalam kalian berhubungan seks?”
Pertanyaan ini diiyakan oleh Abu Thalhah. Nabi pun lalu mendoakan suami-istri itu. Begitu diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim (lihat Riyadh ash-Shalihin karya an-Nawawi, hadits ke-44).
Terlihat di atas, bagaimana Nabi membenarkan atau tidak menegur istri Abu Thalhah yang menggunakan istilah yang dipahami berbeda oleh pembicara dan mitranya.
Al-Qur’an juga memperkenalkan yang demikian. Salah satu contohnya adalah dalam QS. Saba’ [34]: 25,
Kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan “dosa besar” yang telah kamu perbuat. Kami pun tidak mempertanggungjawabkan “apa yang kamu lakukan”.
Dalam redaksi ini, “dosa besar” dipahami sebagaimana apa adanya oleh lawan bicara, tetapi yang dimaksud oleh pembicara adalah kekeliruan-kekeliruan kecil. Sedangkan “apa yang kamu lakukan” dipahami juga oleh lawan bicara dengan “dosa-dosa kecil”, tetapi maksudnya oleh pembicara adalah kekufuran, kedurhakaan, dan dosa-dosa besar.
Demikian pandangan pakar tafsir az-Zamakhsyari dan dikutip oleh al-Qasimi.
Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkannya sesuai dengan penggarisan keyakinannya.
Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapannya arif dan bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntutan keharmonisan hubungan.
Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihkan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al-Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaskan QS. al-An’am [6]: 121, dari kitab ar-Raudhah.
Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Demikian, walloohu a’lam..
Nek aku prefer untuk tidak mengucapkan selamat natal mas, tapi cuma selamat hari suci saja (holiday) saja. Kancaku sing beragama kristen wes ngerti pandanganku tentang natal dan mereka bisa menerimanya. Aku menjelaskan tentang nabi Isa versi Islam, termasuk hari lahirnya yang kemungkinan bukan di bulan Desember, dimana itu musim dingin. Dalam Quran digambarkan nabi Isa lahir di bawah pohon kurma yang berbuah. Estimasinya antara bulan Juni-September. Masa musim panas hingga awal musim gugur.
yup, aku juga memilih untuk tidak mengucapkan selamat, soale akidahku jik galau hahaha… toh ya gak dilarang untuk tidak mengucapkan…
kadang bingung sama orang-orang di Indonesia, yang katanya toleransi tapi masih aja mempermasalahkan saudara-saudara kita yang tidak berkenan mengucapkan selamat Natal. itu kan salah satu bentuk keyakinan, kenapa harus diperdebatkan? ingin mengikuti ulama kok dihujat (di timeline Twitter, Facebook, dsb bahkan banyak yang menghujat ulamanya :D)
yup betul sekali. Kalo beda pendapat, mending diam saja, jangan sampe perang dalil. Nanti kalao gara2 perang dalil, kerukunan malah kacau khan gawat.. hehehe..
alhamdulillah sedikit mendapat pencerahan setelah baca artikel di atas. sebelum2nya udah pernah baca jg artikel lain, y yg di sana dijelasin kalau muslim mengucapkan selamat natal itu nggak apa2-tapi kemarin2 ada baca artikel lain lg dia njelasin kalau ngucapin selamat natal itu haram (dia beranggapan kalau nyebut kata “selamat natal” itu sama dengan kita ngucapin 2 kalimat syahadat dlm Islam). jadilah bingung sayanya, mana nih yg mesti saya pegang?! makasih mas Ndop, ini menarik. Saya salut lho sama mereka yg non-muslim (tetanggaku), dia pas kita2 lebaran, dateng ke rumah, ya kalo dikita nyebutnya halal bihalal ke rumah2 tetangga gitu pas lebaran…nah, pas dia natalan saya ke rumahnya juga yg diniatin silaturrahmi…ga pernah niatin buat sama2 ngrayain natalan (saya mikirnya sih gitu)
Yup, memang tergantung situasi, kondisi.. kalo saya di posisi sampeyan, ya mungkin saja datang ke rumah yg ngarayain natal, tapi ya sekedar datang, demi menjaga kerukunan. Yg penting gak ikut ritualnya..
setuju sekali dengan pendapat mas ndop pada alenia terakhir, apalagi lumayan banyak juga temen2ku yang beragama nasrani.
untuk menjaga silaturahmi dengan saudara dan teman kurasa itu memang tidak menjadikan masalah.
(itu menurutku)
Heh, itu bukan pendapat saya, itu khan tulisannya pak Quraish yg kebetulan saya sreg aja.. hehe..
ini bahasannya berat banget mas -_-
iyaaa, mending langsung komen aja, geje nggak papa.. -___-
Weh berat nih bahasannya Kang. Manteb tur mak jleb….
Kulo pernah bekerja di lingkungan yang full dengan perayaan ini, selama lima tahun. Apa yang saya dapatkan dari ini?, saya lebih memahami bagaimana pemikiran dari kebanyakan mereka, yang dengan itu Alhamdulillah semakin menguatkan akidah keislaman saya.
Tidak jarang saya dilibatkan dalam berbagai acara yang berkaitan dengan acara-acara perayaan ini dan itu, dan sekali lagi Alhamdulillah Alloh selalu menolong saya dengan alasan yang tepat untuk tidak mengikuti dan terlibat di dalamnya.
Trus bagaimana dengan ucapan natal dan ucapan perayaan lainnya ?. Yang saya lakukan adalah, Sejak awal saya tidak pernah memulai mengucapkan salam, dan mengucapkan selamat. Untuk ini jika saya bertemu, pasti saya kedepannkan senyuman terlebih dahulu. Dan kebanayakan merekalah yang memulai mengulurkan tangannya, dan sayapun menyambut uluran tangan itu dengan tidak mengeluarkan kalimat apapun baik terucap maupun terbersit dalam hati. Tujukkan salaman yang elegant yang tidak terasa kaku. dan ketika idul fitripun saya lakukan hal yang sama, tidak memulai terlebih dahulu. Kalopun mereka mengucapkan selamat ini dan itu, saya jawab dengan terima kasih.
Kalopun saya mengucapkan terima kasih, tidak dibarengi dengan keridhoan didalam hati, dan untuk itu saya selalu beristighfar agar sikap yang saya lakukan tidak menjeruuskan saya pada langkah yang salah.
Kita memang harus pandai menata hati kita ketika berhadapan pada kondisi-konsisi di atas, mengingat ucapan selamat adalah perbuatan ringan, namun bisa jadi perkara yang berat jika menyentuh prinsip aqidah.
Jempol rong lusin atas artikel ini Kang,
Wow, saya juga punya pengalaman selama 5 bulan berada di antara orang on muslim, yup, saya pernah kerja di Bali sebagai graphic designer selama lima bulan. Mayoritas adalah Hindu dan Katolik (atau Kristen). Teman sekosan saya adalah katolik. Dan dia teman satu2nya di lingkungan kosan. Walhasil saya selalu diajak ke mana-mana (kecuali ke gereja).
Nah, suatu hari temen kosan menghadiri acara temannya yg memperingati 7 bulanan anaknya. Saya diajak. Ketika ada ritual doa. Saya cuma bisa megang hape sambil facebookan. Yup, saya berusaha cuek saja. Akhirnya saya berhasil cuek. Setelah doa selesai, makan-makan. Hehe..
Sebenarnya, mereka nggak butuh kita ngucapin selamat kok. Mereka tahu kalo urusan agama itu urusan pribadi masing2, jadi semacam ada toleransi. Mereka nggak marah kalo kita diam saja. Asal kita tetep menjaga kerukunan. hehe..
*lha kok jadi postingan baru nih.. hahahah*
Kita memang dilarang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani mas, surat al-kafirun saja udah jelas bahwa kita dilarang untuk mencampur adukkan suatu akidah dengan akidah lainnya. makanya: mengucapkan selamat sama dengan merayakannya dan itu sungguh tidak boleh dalam ajaran islam.
makasih kunjungannya ya mas.. sukses buat sampeyan..
selamat natal 2012 dan tahun baru 2013
Gak golek jajan ndik grejo kang? Hahaha..
Nambah dikit mas, semoga belum kadaluarsa :D Ini tentang bagaimana media bisa menggiring opini publik untuk berbagai kepentingan menyesatkan sampai-sampai ulama pun berhasil jadi hujatan karenanya, semoga menambah wawasan : https://www.facebook.com/notes/zulkifli-dm/benarkah-mui-provokator-intoleransi-umat-beragama-di-indonesia-1/10151382847166974
Makasih linknya mas. Sepertinya saya setuju dengan ulasan itu. Ada semacam profokasi yah, yg memperkeruh suasana..
selamat natal kang ndop
30 Juli suk mben kang, tanggal lahirku hahaha.. suwun yah..
Wah rumit juga yah… bingung apalagi kalau punya teman yang merayakan natal.
namun semuanya kita kembalikan lagi kepada pribadi masing2 serta niat dan side effect yang akan muncul..
kalau saya pribadi memilih mengucapkan selamat natal kepada teman dengan pertimbangan menjaga tali silaturahmi karena pada dasarnya agama islam adalah agama yang rahmatan lil alamin..
“lakum diinukum wa liyaddiin”
Untukmu agamamu dan untukku agamaku.
jangan sampai hanya karena tidak adanya toleransi, terjadi perpecahan dengan rekan yang berlainan agama…
karena merekapun dengan senang hati mengucapkan selamat hari raya idul fitri ketika saya berlebaran.. hehehee.. *so tau dan so serius nih kau dee* *gubrakkkk* padahal ngaji aja belum bener axixixixii…
pisssssss…
setuju mas.. 100 persen setuju. Sebenarnya dalil2 itu maksudnya baik, nggak ada satupun dalil yg berakibat buruk antar sesama manusia hehe..
bagi umat nasrani seperti saya, di beri atau tidak di beri ucapan Selamat Natal sebenarnya tidak masalah..
Asal bisa saling menghormati antar agama, tidak ada masalah di kehidupan antar agama dan itulah yang terpenting. :D
damainya kalo bisa saling toleransi..
Saya punya anggota keluarga yang beragama kristiani. untuk tetap menjaga keharmonisan kami, setiap tahunnya selalu menyempatkan untuk mengucapkan selamat natal. Insya Allah ini tidak akan di nilai haram oleh Islam..
Saya rasa juga tidak mas.. tergantung kondisi dan situasi.. Selamat berbahagia ya mas..
Penjelasannya mendetail sekali ya.. memang terkadang saya sendiri juga agak ragu untuk mengucapkan selamat natal atau tidak. Tapi setelah membaca ini, pikiran saya agak terbuka dan semuanya dimulai dari niat masing-masing orang selama tidak keluar dari akidah.. Terima kasih artikelnya Mas… Salam kenal…
Betul, saya pribadi saja mending nggak ngucapin mas, soalnya akidah dipertaruhkan, cukup dg senyum saja hehe. Tapi bukan berarti saya tidak sependapat dg artikel ini. Saya sependapat, tapi memilih tidak mengucapkan hehe..
Saya punya beberapa teman kristen, saya belum pernah ucapkan selamat natal pada mereka, dan hubungan kemanusiaan kami baik-baik saja.
BTW, muncul lagi ndop…. si penggemar posting renyahmu :D
sama mas. aku juga baik2 saja walo nggak mengucapkan..
Berhubung aku mampir tengah malam, ya yg dibaca mslh agama aja, mdh2an lg lewat, ngerti aku mbaca postinganmu sing iki mas Ndop…aku dpt pahala, mas Ndop juga dpt, lha yg nulis khan …#Pas kebetulan tetangga sebelah kanan rumahku non muslim jadi gak enak juga kalo gak ngasi selamat..tapi aku ngasi selamatnya : selamat berlibur bersama keluarga tercinta
Huwhahaha.. aku juga gak berani ngucapin selamat, diam aja dah.. hihihi..