Ironi sebuah Slametan
“Mas, tabungan kita sudah ngumpul lumayan banyak nih. Belum ada kebutuhan-kebutuhan yang mendesak juga. Gimana kalau besok kita bikin acara kirim doa? Buat mendoakan mbah-mbah kita, juga buat mendoakan anak kita yg meninggal ketika masih janin dulu itu, ya Mas? Kata Hartini kepada Suyanto suaminya.
“Ayok, kita bikin!” Senyum suaminya merekah. Bangga dengan istrinya yg punya ide bagus itu.
Hari H telah datang. Undangan telah disebar sebelumnya sebanyak 40 orang. Sama kayak undangan-undangan penduduk desa lainnya yang rata-rata mengundang 40 orang untuk acara kirim doa atau slametan seperti ini.
“Mas, kita bikin yang datang seneng ya mas. Makanannya yg enak-enak. Jangan cuma krupuk sama jadah ya. Aku sudah masukin roti, risoles, lemper, roti kukus, sama pastel.” Hartini menjelaskan kepada suaminya, kalau biaya untuk kirim doa ini nggak murah. Tapi nggak papa, mumpung ada duit. Mumpung duitnya masih belum kepakek buat kebutuhan lainnya.
“Sotonya udah mateng khan, Dik? Boleh Mas icip-icip?”
“Boleh lah mas, aku ambilkan dulu yaaa… Aku tadi beli ayam 2 ekor loh.. Biar nanti tamunya seneng karena sotonya banyak ayamnya..”
Suami makan dengan lahap. Karena sotonya memang enak..
_______________
Iya, sotonya memang enak. Enak banget malah. Aku mewakili keluarga diundang datang ke acara kirim doa itu. Aku duduk di karpet hijau yang pinjam di pak RT. Bersandar di tembok yang kelihatan batu batanya. Di atas sana, sarang laba-laba menghiasi atap genteng yg bagian di bawahnya hanya ditutup plastik.
Lampu neon yang sudah redup menerangiku makan lahap malam itu. Sambil mbatin di dalam hati, duh, keluarga ini pasti habis-habisan membiayai acara ini.
Tapi ironinya…
Tenggorokanku saat itu masih belum kering karena doa-doa yg panjang. Entah kenapa, pemimpin kirim doa kali ini cuma berdoa singkat. Nggak pakai baca surat Yaasiin. Dan bacaan yang harusnya diulang 33 kali, dipersingkat jadi 11 kali. Terkesan terburu-buru.
Setelah makan, para tamu disuguhi minuman es buah. Nikmat sekali. Setelah itu, berkat pun dibagikan.
“Sudah semua?” Kata Suyanto memastikan.
“Sudah.. “ Kata Pak Teguh. Tokoh masyarakat di sini.
Suyanto diam. Lalu dia resah ketika melihat ke dalam kamar. Aku ikutan mengintip ke dalam kamar yg letaknya pas di depanku. Stok berkat di dalam kamar sana ternyata masih ada 20 lebih. Yang datang ternyata cuma sedikit orang. Padahal cuaca cerah!
Entah siapa nanti yang menghabiskan..
Para undangan berdiri. Pamit pulang. Salaman. Mengucapkan terimakasih.
Aku sengaja berdiri paling akhir. Sambil menghela nafas, kulihat sekeliling rumah. Membayangkan kalau biaya buat berkat yg gak kemakan di dalam kamar itu, dan soto di dapur yang pasti masih banyak, kalau ditotal, bisa buat nyemen tembok rumah ini. Atau buat beli plafon buat nutupin sarang laba-laba di atap sana. Atau.. setidaknya ditabung buat masa depan…
Aku melempar senyum tulus kepada yg punya rumah. Aku melihat wajah yang bahagia walaupun kantong matanya gak bisa menyembunyikan kelelahannya setelah seharian menyiapkan acara ini. Kulit mukanya yg berwarna eksotis pasti sudah biasa berjemur di terik matahari sambil mengayuh becaknya.
Aku meninggalkan rumah sederhana itu dengan langkah agak cepat. Menyalip warga lainnya. Aku gak sabar kepingin menceritakan ke keluargaku.
Sampai rumah, aku buka berkatnya. Dan aku makin shock dan terharu, karena makanannya enak-enak! Mienya enak, ayamnya gedhe, nasinya juga empuk, dari beras mahal.
Duh..
_________________
Jam setengah delapan malam, tiba-tiba hujan deras. Aku berlari menyeberang jalan lalu berbelok memasuki rumah tetanggaku. Tadi hampir terpeleset karena jalanan licin, untung sempat berpegangan pada body mobil yang diparkir di depan rumahnya. Ada tiga mobil berjejer-jejer.
Aku lepas sandalku. Naik tangga teras rumah. Lalu salaman ke yang punya rumah. Bajunya bersih, wangi, kulitnya putih kayak nggak pernah terkena panasnya matahari di siang hari.
Aku memilih untuk duduk di dalam saja. Nggak suka di luar, pasti banyak yg ngerokok. Lampu ruang tamunya terang benderang. Kalau dibuat foto selfie, pasti hasilnya akan jelas. Haha. Sayangnya gak bawa hape. yaiyalah.
Yang datang bejibun. Padahal hujan sangat lebat. Sampe tumpah-tumpah tamu undangannya.
Acara dimulai. Doa-doa yang panjang plus suroh Yaasiin dibaca semua. Tak jarang aku lihat banyak yg terpejam. karena khusuk? Fifty-fifty dengan ngantuk. Aku aja terangop-angop sedari tadi.
Tenggorokanku kering. Aku coblos dan segera minum akua di depanku. Lalu hidangan datang. Para tamu saling mengedarkan ke tamu lainnya. Yang diujung makan duluan.
Tiba giliranku, tak sabar segera kumakan. Maklum sengaja gak makan dari rumah. Biar lahap. Haha.
Hmm.. cuma Nasi pecel?
Ada ayamnya sedikit. Tulangnya yg banyak. Sambil melirik mobil-mobil yang berjejer di depan rumah sana, aku menelan sedikit demi sedikit makanan yg bikin cegukan kalau nggak didorong sama air itu.
Oh, mungkin habis makan akan ada minuman yang dingin dan segar. Atau mungkin ada buah. Eh, ternyata gak ada. Akua pun cuma satu doang. Dan sudah habis separuh karena tadi haus habis berdoa panjang.
Fiuh..
Banyak makanan yang nggak dihabiskan sama tamu undangan. Bahkan ada yg baru makan satu sendok trus udah. Piringnya diletakkan. Gak kolu (ketelen) katanya.
Aku gak bisa kalau makan gak habis. Terpaksa aku habiskan pelan-pelan. Karena ayamnya cuma sedikit, di sisa seperempat makanan, aku cuma makan nasi sama sayurnya saja. Lauknya sudah habis. Hmm..
Berkat dibagikan. Semua tamu berdiri. Menyisakan piring-piring yang nggak bersih, masih tersisa banyak. Mereka pamitan. Mengucap terimakasih. Pulang.
Sementara aku masih terduduk sambil makan. Setelah semua tamu pulang, tepat makananku habis. Aku pamitan pulang dan mengucap terimakasih. Aku segera berlari menembus hujan lebat. Basah dikit gak papa. Rumahku dekat banget cuma 10 langkah.
Sampai rumah, ibu dan anggota keluargaku membuka isi berkatnya. Wah, isinya tak sepadan dengan mobil-mobil berjejer di depan rumahnya. Cuma pisang, apem, jenang. Nasinya sudah kering. Mienya hambar rasanya.
_______________
Kesimpulan: Kehidupan memang penuh misteri ya. Ketika kita melihat sesuatu yg serba kekurangan, ternyata hatinya penuh kemurahan. Demikian sebaliknya, ada juga yg bermewah-mewahan harta, tapi ternyata..
The end..
Note: Ini cuma fiksi kok. Aslinya gak gini. Tapi mirip-mirip.
Related Posts
-
Pak Tua yang Ngimami Sendiri
28 Comments | Jul 23, 2014
-
Kenapa Saya DO Kuliah?
193 Comments | Mar 5, 2013
-
M. Quraish Shihab Menjawab tentang Sholat Tarawih, Membaca Al-Qur’an, dan Riba
14 Comments | Aug 19, 2010
-
Mampus lo Ular!!!
14 Comments | Mar 28, 2008
About The Author
Muhammad Ali Mudzofar
Bocah ngganteng putranya Bapak Dokterandes Djainuri (Nganjuk) dan Munasikah (Tulungagung) ini sehari-hari bekerja di kamarnya, kadang di cafe, menggambar vector untuk klien-kliennya sedunia. Aku adalah seorang seniman (KTP) dan suka olahraga lari. Bersepeda masih, tapi untuk alat transportasi saja. Kenalan lebih lanjut? Buka halaman About Me ya!
Ya begitulah yang terjadi. Ada orang berkepunyaan tapi selalu merasa kurang cukup. Ada yang kekurangan tapi tidak ingin terlihat kurang.
Yang kaya yg pelit, yang miskin yg pemurah. Ironi. Hehehe
Terkadang apa yg terlihat memang tidak mencerminkan keadaan yg sebenarnya. Dari luar terlihat kekurangan, tapi hatinya di penuhi dg kemurahan. Mencukupkan yg sedikit bagi dirinya dan memberikan kelebihan yg walopun sedikit diberikan utk kebahagian org lain. Ada juga yg terlihat “wah” di luar, tapi sesungguhnya hatinya sangat miskin, sampe2 tak tau malu mengambil punya org lain, dg berbagai cara… Ada lah tipe2 manusia spt ini. Paling gampang melihatnya saat berhubungan dg uang, kepribadiannya sungguh akan terlihat jelas… *pengalaman hampir 10th di bag. keuangan, ketemu dan berinteraksi lgs dg banyak orang…hahaa
Wingi dijak chat karo koncoku, dee arep tuku iPhone, tak keki kontake sing dodolan iPhone. Koncoku tumpakane sih mobil apik anyar kinyis2. Trus tak kiro ki dee arepe tuku iPhone tanpa beban lah (wong sugih, duike mestine akeh), lha kok tibake takon, “Kui iso dicicil gak?”
HUahahahhaa.. ternyata…
Cerita mu ini mas ndop…mirip sepenggalan cerita novel yg pernah aku baca di gramedia…
Wow, novel apakah itu? Iya. Ini bikin kasihan yg miskin ya, masa bikin slametan gak ada yg datang…
Wah. Ceritane jian mantap surantap mas.
Jangan terlalu terpaku melihat dari bungkusnya lah intinya.
Betul. Kalau aku, miskin kaya, slametan, ya datang lah, wong diundang…
Saya percaya ini fiksi, tapi sering nemui cerita yg seperti ini. Bukannya mau mencela berkatan tapi kadang-kadang muncul pemikiran seperti ini
Betul. Orang males datang ke tempat orang miskin soalnya sudah menduga nanti berkatnya gak ada yg enak. Padahal belum tentu…
ironisnya, aye lagi makan soto sambil baca tulisan sampeyan mas ndop :P
Huahhahaa.. Ati2 keselek yaaaa
wah kok keburu-buru ya,,, padahal doa perlu kekhusyuk’an.. hemmm
Khusuk sih, tapi dikit dikit gak koyok setandare.
beberapa hal yang bisa diambil pelajaran dari postingan diatas:
1. don’t judge the book by its cover (standart lah ini )
2. kaya harta belum tentu kaya hati dan juga sebaliknya, tapi idealnya haruslah kaya dalam segala hal
Setujuuu… orang kaya yg pelit jumlahnya buanyak..
Kolu itu artinya ketelen ya mas? Kalo di daerahku lebih ke nafsu makan :oops:
Fiksi sih, kenyataannya banyak terjadi. Bahkan di sekitar rumahku juga
Kasian keluarga yang pertama itu
Iya banget… Omahe kemproh soale, walhasil wong males teko..
jadi ceritanya sawang sinawang ya?
orang miskin selalu dipandang sebelah mata heheheh
memeang ironi ya mass :D
iya
bersyukur pun tdk ada salahnya secara sederhana… dalam artian tidak perlu ditampak-tampakan… dan pada jalurnya
Absolutely agree!
daleemm! gimana ya… kok rasa-rasanya cerita ini pun terdengar familiar banget di sini, di sana, di mana-mana mungkin
Iya, yg miskin yang gak dianggap.
Waaah… ini seriiiing kejadian dimana-mana. Orang kaya cenderung dihormati, padahal mereka pelitnya nauzdubillah. Sementara orang dhuafa sering dipandang sebelah mata, padahal mereka sangat memuliakan tamu.
NAH! Betul sekali. Mereka jadi dhuafa karena suka berbagi. Hartanya gak ditimbun kayak orang2 kaya yg pelit.
kereeen, banyak yang bisa di petik dari postingan kak ndop yg ini. “jangan nilai orang dari luarnya” ga boleh meremehkan orang, sekalipun tukang becak
Iya betuuul…. profesi yg nyaman dan halal itu bikin hati nyaman. Soal kaya miskin itu gak masalah. Gak semua orang butuh mobil, rumah mewah, dll.
kenyataannya orang memang melihat yg nampak saja, padahal …
*komen e nggantung* hehehe
Haha postinganku yo nggantung kok
Gokil Gan ceritanya.. menginspirasi sekali.. orang Kaya materi belum tentu kaya Hatinya jga..
Betul bangeeet!
mantap gan cerita nya, lumayan menginspirasi
ceritane fakta menyata..
Niatnya fiksi tapi asline fakta sing tak tambahi bumbu haha
Dari sini juga keliatan, sebagian besar orang masih “pilih kasih” (apa ya istilah lebih tepatnya?) untuk bantu orang.. Mereka yang dianggap mampu lebih diutamakan daripada mereka yang dianggap kurang mampu.. Yaa maklumlah, manusia
Betul mungkin itu naluri manusia yg tak luput dari dosa yaa
Lakonnya orang hidup memang warna-warni, Mas. Jadi, bisa buat belajar.
Salam kenal
Betul sekali.. Lika liku hidup.. Salam kenal jugaaa
Ceritanya bagus.. Sangat menusuk pusat sasaran. Jleb jleb jleb…
Makasih mas.. Belajar nulis novel ini haha
Makanan dan berkatan yang berlebih bisa dikirim ke tetangga yang tidak hadir atau yang anaknya banyak
Tradisi slametan dan kirim doa tetap langgeng lestari
Salam hangat dari Surabaya
Iya emang akhirnya begitu pak. DIbagi2kan ke yang gak datang. Hihihi
Salam ganteng dari Nganjuk.
buwakakakak..gokil baca ceritanya dzofar..ga kolu mangan soale ayamnya dikit…belum banyak yang merem waktu baca doa..merem khusuk opo merem ngantuk mas…wkwkwkwk
Hahahaha.. merem ngantuk lah.
Kadang kita memang gak bisa melihat hanya dari covernya saja ya mas dzofar? :D
Betul sekali. Kaya belum tentu dermawan. Miskin belum tentu pelit.
Memang banyak org yang hanya melihat bagian luarnya saja,, mereka tidak tau isinya :v mantap dah postingnya mas dzofar
Ya begitulah yang terjadi. Ada orang berkepunyaan tapi selalu merasa kurang cukup.