In Memoriam Berlina: Jadi Layouter Tabloid

Dahulu kala adik-adikku, aku pernah lo jadi seorang layouter tabloid. Nama tabloidnya lumayan ekstrim anehnya. Hiyaitu: Tabloid BANJIR. Hohoho…

Pertama sih mas iparku suka ngeliat aku otak-atik koreldro di kamar. Trus kakak iparku yang berjiwa bisnis itu langsung menawari aku untuk jadi layouter tabloid Banjir. Pertama aku bingung mau njawab iya atau menjawab nggih, soalnya nanti kalo menjawab nggih, trus kemudian mas iparku ngajak boso jowo kromo inggil, matek aku.. huwokekeke…

Suatu hari, aku resmi bekerja. Aku bertemu orang media yang merupakan dunia baru bagiku. Orang media itu pinter-pinter, terutama pinter ngomong. Apalagi wartawan-wartawannya. Walaupun Tabloidku itu kelas lokal, lokal Nganjuk yang notabene kota ndeso, tapi semangat para wartawannya untuk menulis tentang Nganjuk sangatlah besar. (hayyah, opo hubungane antara semangat dengan kota ndeso ndop???)

Tabloid Banjir dikhususkan untuk orang ndeso. Pasarnya adalah orang ndeso. Jadi jangan harap sampeyan menemukan Tabloid Banjir di penjaja koran atau loper koran di jalan-jalan perkoataan Nganjuk! (Nganjuk enek kotane to ndop?)

Jam tidurku berubah semenjak bekerja. Maklum terbitnya pagi-pagi sekali. Walaupun terbitnya seminggu sekali, tapi aku masuk tiap hari. Sehari biasanya hanya melayout satu berita, kadang dua berita, ndak mesti. Kalau ditotal, satu tabloid itu terdiri dari 30 berita.

Yang bikin pusing itu kalo sudah mendekati deadline sementara berita masih kurang banyak. Walhasil aku yang sebagai layouter yang dianggap paling melek komputer pun disuruh melenggang ke warnet buat cari berita! (kantornya belum ada internet!). Wuih, berita artis-artis pun terpaksa dimasukkan. Lawong memang kurang banyak beritanya.

Lama-kelamaan, Tabloidku itu dikenal masyarakat Nganjuk. Tuntutan kualitas pun tak bisa dihindari. Namun bukannya semakin bagus, kualitas isi beritanya menurun. Tabloid Banjir sudah kehilangan kritik pedasnya, kehilangan keberaniannya menulis berita. Kenapa bisa begitu? menurut saya, idealisme wartawan dikalahkan sama tuntutan perut. Iyap, demi sesuap nasi, para wartawan itu pun harus mengorbankan kualitas tulisannya sendiri. Semakin diberi uang banyak, maka tulisan yang sebelumnya sangat kritis dan pedas itu pun melumer.

Sebagai layouter, sangat tersiksa sekali kalo jeri payah seminggu melayout ternyata TIDAK TERBIT. Wadduh… soalnya kalo tidak terbit otomatis tidak dibayar. Yaaa.. kok begitu sih! aneh ya…

Kenapa kamu nggak keluar aja ndop?

Hohoho.. saya masih punya utang sama mbakku sebesar 600 ribu buat ngijoli hapenya yang aku ilangkan pas nonton konser Nidji di kediri!!

Walhasil aku benar-benar musti sabar-sesabar-sabarnya menerima keadaan.

Pernah suatu ketika karyawan-karyawan Tabloid Banjir pesta kecil-kecilan. Saya terperanjat ketika melihat apa yang sedang diteguk oleh sebagian karyawan-karyawannya. ARAK! iyup, minuman keras itu terdengar mak gluguk-gluguk ditelan oleh sebagian karyawan! omaigooosh!!

Seketika itu aku pingin banget keluar dari Tabloid Banjir. Tapi apalah daya, hutangku kepada mbakku demikian mengikatku untuk cari uang dan cari uang… :cry:

Akhirnya seiring dengan waktu, tabloid itu kesulitan untuk terbit. Maklum bukan lagi istrinya paklum soalnya sudah cerai, wekekeke…, penjualannya menurun. Iklan juga menurun. Walhasil malam sebelum terbit, semua kebingungan musti nyari duwit buat membiayai ongkos cetak. Waduh biyung…

Dan saat ini, saat kemarin, saat Juni 2007 kemarin, Tabloid itu sudah tiada dengan sendirinya. Ditinggalkan karyawannya dengan sendirinya. Statusku juga sudah ndak jelas. Bubar apa nggak juga ndak jelas. Aneh bukan?

Namun, aku bangga melihat hasil jerih payahku bisa dinikmati seluruh warga Nganjuk. Pas pertama kali terbit, rasa deg-degan saking sumringahnya tak bisa dihindari. Waah, tak terasa sudah 16 edisi aku melayout tabloid Banjir. Ini diya the sekerinshotnya…

Tabloid Banjir

I miss you Tablid Banjir Terawang Gamblang. Kapan kita reunian???

60 Comments

Leave a Reply to liechaCancel reply