Jalan-jalan dari Gebang ke Bungurasih..!!!!!
======================================
PERHATIAN
ini cerita jadul saya. yang saya tulis pas saya semester 1 dulu. Sekitar tahun 2002. Jadi kalo memang ada bahasa yang basi, ya mohon dimaklumi. namanya aja jaman, pasti berubah toh? lha iya…
oh iya FYI, novel pertama saya ini sangat langka lo.. berarti anda adalah orang-orang yang beruntung bisa membaca novel saya. Kenapa langka? karena novel ini hanya dicetak SATU kopi saja. dan ada di kamar saya di Nganjuk sono. tergeletak berdebu nggak ada yang baca.
oke.. saya ucapin selamat membaca saja.. semoga bermanfaat untuk mengocok perut anda!!
===========================================
Ini kisah saya……
Hari itu Kamis. Besoknya saya harus sudah ada di Nganjuk. Saya sekarang di Surabaya. Ngerti tidak lagi ngapain? Saya di Surabaya kuliah. Di salah satu PTN yang terkenal. Yang terkenal dengan Vivaaaaaa…… hand and body lotion !! eh, bukan, maksud saya Vivaat !! trus trus gini. Khan hari itu ada kuliah IPTEK alias Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Wee.. ceritanya nih saya punya teman Nganjuk namanya Mahendra. Saya karo de’e podho ketompone neng ITS. Saya ketompo neng Statistika, de’e ketompo neng Sipil.
Wektu iku khan pas posoan. Harinya pas kamis. Karena Jum’at tidak ada kuliah alias libur, Sou.. ai hav te gou tu mai houm after_ai teik_e prei (teraweh) in the mil ef the nait to Nganjuk . Saiki etok-etoke utowo tok-tok men-e wes mari taraweh. Sebelum pulang saya menelfon Mahendra. Ya..h, njajal-njajal sedikit kemajuan teknologi komunikasi laah. Masa masih pakai kumplung yang diberi benang bol seperti ketika saya masih muda dulu. Khan pemborosan. Harus beli benang sejauh 3 kilometer kan, berapa duit coba’?
Kupencet tombol angka-angka tertentu yang kamu tidak perlu tau nomor mana saja yang saya pencet. Buat apa gitu looh!! . kutunggu beberapa detik, ternyata yang terdengar hanya suara komputer yang berbunyi “maaf, telefon yang anda hubungi sedang mengalami perbaikan!”. Glodaak!! Ndlosoo..r!! . Kucoba sekali lagi, eh, tidak deng, dua kali-dua kali lagi. E… ternyata sama. Kulang-kahkan kakiku yang panjang beberapa langkah menuju wartel lain. Jarak wartel pertama ke wartel yang kedua sekitar 20 meter. Tahu nggak si lo, saya hanya melang-kah 20 langkah. Kumasuki wartel kedua, kutekan nomor-nomor yang tadi, e.. yang kudengar adalah suara yang tadi. Jadi saya mencari wartel seperti yang tadi. Jaraknya sekarang lebih dekat, tidak seperti yang tadi. Jadi saya melangkah tidak sebanyak yang tadi. Tadi kan 20 langkah. Nah, yang tadinya 20 langkah sekarang cuman 3 langkah. Nah, tugas anda sekarang adalah menghitung berapa jumlah kata ‘tadi’ yang saya ucapkan? Setelah menghitung jumlah ‘tadi’ yang saya tulis, anda akan mengerti betapa anehnya anda ini. Kurang kerjaan banget. Masa mau sih saya suruh ngitung kata ‘tadi’? ya jangan mau dong! Bagaimana sih. Sudah sudah jangan ribut melulu. Saatnya kita kembali ke jalan yang lurus!
Peristiwa di halaman sebelumnya membuat saya merasa kesal. Lalu dengan tanpa pemikiran saya memu-tuskan untuk mencegat len saja. Oh, iya trus apa yang dilakukan temanku sekarang? temanku ternyata juga sedang menanti telefon dari saya. De’e ternyata yo podho bingunge. Lha nyangopo kok bingung? Karena dia tidak tahu nomer telefon saya. Lha kenapa kok tidak kamu beri tahu? Soalnya saya khan harus yang nelefon. Masak dia yang nelefon. Khan jadinya saya lak gak bondo blas. Mulih digonceng, ditelefon disek, ditukokne mangan..de el el. Yaah, sebagai seorang insan yang punya perasaan, sudah sepatutnya tahu dong caranya bergaul. Jangan selalu ingin untung melulu. Sekali-sekali atau berkali-kali berkorban khan tidak ada salahnya. Tidak perlu yang besar-besar pengorbanannya. Mulai dari yang kecil-kecil saja. Misal kalau udah pulang gratis gara-gara diantar teman. Ya kita harus mikir cara membalas kebaikannya. Jangan yang nyolok banget seperti ngasih uang ganti bensin, atau uang ganti olie atau uang ongkos pijet. Cukup dengan dua puluh ribu saja cukup (yee.. sama saja gila!). Eh, maksudnya membalasnya itu misalnya kita dolan ke rumahnya. Nah, kita ke sana sambil bawa apa kek, misal roti, makanan ringan atau gorengan. Tapi ke sananya jangan lima menit setelah dibantu, tapi agak lama sedikit lah, sekitar satu atau dua harian. Kalau lima menit kan nyolok sekali. Pasti dia mengira itu sebagai imbalan bantuannya. Dan peluang die nolak pemberianmu itu sangat besar. Kalau satu atau dua hari atau, dia pasti udah lupa bahwa ia pernah membantumu. Dan peluang menerima oleh-oleh dari kamu pun menjadi besar .
******
Aku berdiri di pinggir jalan sendirian. Saya sedang menunggu len RBK Yang kepanjangannya nih bang ye: Rungkut Bratang Kenjeran. Ngarti tidak bang? . E.. tak tunggu sekitar seprapat jam, tuh len tidak nongol-nongol. Waktu saya nunggu len, hari itu pas hujan. So, saya kehujanan nih critanya. Dingin. Eh, tidak deng. Yang dingin cuman telapak tangan saja. Lho, kenapa? Lho, karena saya kan memakai klambi rangkap lima. Lho, kok lucu? Lho, la iya, khan tas saya sudah tidak muat lagi menampung gombal-gombal yang belum saya cuci selama seminggu. Lho, baunya penguk dong? Lho, sudah pasti. Tapi saya cuek saja. Khan tidak bakalan ada yang mau mendekati saya. Buat apa coba? kalaupun ada pasti bentaran saja die akan menjauhi saya. Lho, kenapa? Kan memakai klambi rangkap lima. Lho, kok lucu? Lho, la iya, khan tas saya sudah tidak muat lagi menampung gombal-gombal yang belum saya cuci selama seminggu. Lho, baunya penguk dong? Lho, sudah pasti. Tapi saya cuek saja. Khan tidak bakalan ada yang mau mendekati saya. Buat apa coba? kalaupun ada pasti bentaran saja die akan menjauhi saya. Lho, kenapa? Kan saya lagi Udunan diketek saya. Dia khan takut nanti tertular. Dasar…!!! teori !!
Saya menunggu lumayan lama di pinggir jalan bunderan ITS. Kendaraan-kendaraan mengitari bundaran ITS secara perlahan dengan sorot lampu terang. Membuat saya tidak bosan untuk menunggu lama di situ. Kupandangi satu persatu dari mobil-mobil yang lewat dan tak satupun len yang aku temui. Sambil bersedekap menahan dingin yang meresap ke bajuku sampai baju terdalam, aku tetap terus berdiri menunggu dengan sabar. Sambil komat-kamit membaca mantra. Mantra apaan?? Mantranya adalah sebagai berikut: ketika jiwamu.. merasuk ke dalam .. aliran darahku… dan meracuniku…u… .
Setelah sekian lama saya menunggu tanpa ada hasil yang pasti. Saya memutuskan untuk nekat ke Mbratang jalan kaki. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu . lho kok jauh? kan cuma setengah jam kalau ditempuh pakai len. Jadi dengan langkahku yang besar-besar paling juga cepat sampai. Wooo… bocah kok gak ngandel nek diomongi wong tuo. Kualat mboh lo yo!.
Setelah keputusanku sudah mantap, saya mulai menjejakkan langkahku yang pertama dengan pelan-pelan dan slow motion. Kupandang lurus ke depan layaknya menantang maut. (Jie..!) Dengan percepatan konstan saya melangkah dengan pasti. Tiba-tiba rasa sakit melandaku. Ketekku cenat-cenut-cenat-cenut tidak karuan. Udunku kegesek-gesek tas ranselku. Sakiiit sekali rasanya. Rasanya itu kayak udunan . Di saat-saat seperti ini kok ada saja yang mengganggu. Memang dasar si Udun sialan, kenapa muncul tidak ijin dulu sama saya. Tahu nggak sih lo dun, kalau mau nempel di bagian badan saya, kamu harus mengajukan proposal dulu. Jadi saya tahu apa latar belakang, tujuan, permasalahannya. Si udun bicara: memangnya, mau Kerja Praktek bang, pakai proposal segala. Sayanya bilang: Lho, jangan meremehkan badan saya dun, badan saya ini aset saya yang paling berharga. Tanpa badan, saya itu tinggal kepala, tangan dan kaki saja. Apa itu tidak menakutkan dunia persilatan? (Lo kok dunia persilatan?) danlagi kenapa muncul diketek? tidak di tempat lain saja, seperti kuku, rambut dan gigi. Si udun angkat bicara: oo.. iya..ya !?
Saya menelusuri jalanan yang ramai kendaraan lalu-lalang. Heran, kok masih rame ya. Kan tidak masuk diakal. Udah harinya malem, hujan, dingin. E.. kok masih banyak yang berlalu-lalang. Pancen Suroboyo pancen kuto sibuk. Gak peduli isuk, awan, sore atau bengi. Ah, bukan urusanku. Sambil nyanyi-nyanyi dengan suara merdu yang kebetulan saya miliki baru-baru ini sambil tolah-toleh melihat orang-orang disekitarku dan anehnya semua membalas tatapan mataku yang indah Mungkin semua merasa aneh melihat penampilan orang gila baru yang sedang mereka lihat. Kok orang gilanya manis dan lugu ya? Kok orang gilanya pakai baju lengkap ya? Kok mbawa tas ya? Kok keren ya? Dan kok-kok yang lainnya yang hanya membuat hatiku gundah gelisah saja. kenapa? Karena saya kan tidak hanya manis, tidak hanya lugu, tidak hanya pakai baju lengkap, tidak hanya mbawa tas dan tidak hanya keren. Tapi lebih dari itu. Lebih manis dan lebih lugu, lebih lengkap dari baju orang biasa, selain bawa tas aku juga bawa gombal, dan yang terakhir, lebih keren . Ihi….!!
Setelah beberapa saat saya sudah sampai di Semolowaru. Kalau nggak salah kallee. Soalnya ketika saya lihat di toko-toko, semuanya tertulis Semolowaru. Saya pikir-pikir, wah tinggal sedikit lagi nih. Kupercepat langkahku saking semangatnya, tiba-tiba suara len yang khas terdengar di belakangku. Lalu saya menengok ke belakang dan saya disambut dengan kilauan lampu len yang menyilaukan mata. Sambil mata ngeriyip saya hentikan langkahku. Beberapa detik kemudian len itu sudah lewat disampingku. Sebenarnya saya sangat ingin menumpanginya. Lalu dengan jurus Statistika , saya pertimbangkan secara matang secara statistik. Kutetapkan Hipotesis awal yaitu saya akan naik len saja dan hipotesis alternatifnya saya akan jalan kaki saja. Dengan alfa atau kesalahan sebesar lima persen. Dengan statistik uji yang tepat, ternyata P-Value atau peluangnya adalah lebih kecil dari alfa. Sehingga dapat diputuskan kalau saya jalan kaki saja. Kenapa kok saya menolak hipotesis awal? karena gini. Sebenarnya tadi Hipotesis awal diterima. Tapi karena waktu menghitungnya lama dan len-nya udah keburu jauh. Jadinya yang tadinya hipotesis awal diterima, e.. tidak jadi diterima. Sehingga hipotesis alternatif lah yang diterima. Memang tidak papa sih. Kan kesalahannya sebesar 5%. Jadi misalnya melakukan hipotesis sebanyak 100 hipotesis, maka ada sekitar 5 hipotesis yang salah dalam memutuskan dan salah satunya adalah saya. Kok saya sih! Kasian de lo banget deh gue!
Bagi yang telah membaca tulisan sebelumnya dan merasa bingung, itu lumrah. Soalnya aku dewe yo bingung.
Ah, mama jalan ke Mbratang. Saya kan masih muda. Masih kuat. Apalagi kalau cuman jalan kaki saja. Hah, kecciii…ll !!! . Paling tidak ada apa-apanya dibanding mendaki gunung pake sepeda yang pernah saya lakukan waktu saya masih muda dulu. Atau tidak selevel dengan rekor saya naik sepeda dari Nganjuk ke Kali Bening Madiun. Memang, ndopar iku bocah aneh, mosok ndek omah enek sepeda motor, jek nggawe sepedah wae. Bocahe senengane nggawe sensasi. Koyok wong edan kurang kerjaan!
Bagaimana dengan udunanmu? Apa sekarang tidak terasa sakit? Ooo.. tentu tidak. Soalnya dia lagi tidur. Tapi kok tidak kudengar ngoroknya. Dia kalau tidur kan biasanya ngorok. Tahu dari mana? Ya tahu dong. Kite kan temenan dari dulu. Cuman dia nongolnya baru dua kali. Waktu masih muda dulu, ia pernah muncul di jidat. Trus ia tidak muncul lagi selama 10 tahunan lah. Karena sudah berteman selama sepuluh tahun, tak heran kalau saya jadi tahu kebiasaannya. Terutama waktu tidur dia selalu ngorok. Tapi mungkin sekarang jaman udah berubah. Mungkin setelah bertapa selama sepuluh tahun di badan saya, dia jadi bisa menghilangkan kebiasaan buruknya. Malah lebih baik begitu. Eh, ngomong-ngomong ngoroknya si Udun seperti apa? ngoroknya? Waduh, RA…HA..sia .
Setelah si Udun tidak rewel lagi, gantian kaki saya yang rewel. Rasanya pegeel banget. Padahal saya sudah lama kenalan dengannya. Mungkin lebih lama dari si Udun. Si Kaki saya kenal sejak duluuuu… sekali. Saya tidak ingat kapan. Pokoknya sudah lama. Selama ini kaki saya selalu membuat saya bangga. Pernah dulu waktu masih esde aku meraih prestasi lomba lari 100 meter. Ee.. dapet juara empat. Dengan jumlah pesertanya…. lima!
******
Lagu kedua mengalun dari mulutku. Suara merdu terdengar dengan pitch sempurna dan dengan teknik vokal yang tinggi. Aku merasa bangga memiliki suara yang merdu, karena selain ampuh untuk mengusir lelah dan stress, ternyata juga ampuh untuk mengusir nyamuk, tikus dan manusia , bahkan makhluk halus!. Sambil nyanyi-nyanyi saya berjalan menelusuri jalan penuh liku. Hingga sampailah saya di prapatan. Kuhentikan langkahku. Kuhirup udara sesedikit-sedikitnya dan kuhembuskan sebanyak-banyak-nya. Udara Surabaya bahaya bagi kesehatan, man! Jadi harus diatur nafasnya. Jangan terlalu sering menghirup udara tetapi sering-seringlah menghembuskan udara. Asal jangan sampai lupa ngeluarin udaranya aja.
Secara “mak bedunduk” . Berdirilah secara tiba-tiba seorang kakek kurus yang masih kelihatan muda dan seger. Atau saya yang salah, berdirilah seorang anak muda yang masih seger dengan wajah kayak kakek-kakek? Tidak tahulah, pokoknya gitu. Dia lalu mendekat ke saya. DENG!! Atiku dadi “mak jeduk-jeduk”. Wadooh jangan-jangan perampok. Agar diberi keselamatan, kuucapkan mantra sapu jagat untuk melindungi diri dari mara bahaya. Mantranya adalah sebagai berikut: “Kaling kacek kacu kacu koling kaling kayu” yang artinya, “maling mancek kayu, kayu nggoleng maling mlayu” . (opo kuwi??…???) Selesai membaca mantra, orang yang nggak jelas identitasnya tersebut malah mengajakku menyeberang. Oo.. ternyata matraku manjur. Aku diselamatkan dari mara bahaya. Buktinya, justru aku akan dibantu disebrangkan olehnya. Ternyata ia orang baik. Trus aku mau saja. Lawong aku kan pancen bingung carane nyebrang. La piye to, lawong wes tak enteni suwi, dalane kok gak sepi sepi.
Hasil dari proses penyebrangan tadi adalah bahwa aku sekarang sudah berada di terminal mbratang. Setelah berterima kasih dengan si kakek yang awet muda atau si pemuda kayak kakek-kakek tersebut, saya langsung memasuki terminal. Eh, kok sepi ya? Kok peteng ya? Kok medeni ya? Kok ngene ya? Kok ngono ya? Dan kok-kok yang lain. Memang tidak seperti biasanya. Biasanya kan rame dan panas. Sekarang menjadi kebalikan dari semua. Tak ada bis yang terindikasi akan ke Mbungur. Hanya ada salah satu bis yang lampunya menyala kuning redup. Sehingga dari seluruh terminal, yang kelihatan cahayanya adalah cahaya dari lampu dop bis itu. Aspal terlihat hitam mengkilap karena habis terkena air hujan dan terkena cahaya dari bis kota. Aku memandangi kehidupan malam di terminal itu. Di dalam kegelapan terlihat seseorang sedang duduk di kursi kayu sambil menghitung hasil keringatnya sepanjang siang. Terpancar sinar mata bahagia di wajahnya. Dan saya terharu melihatnya. Kualihkan pandanganku ke arah bis kota. Pikiranku didera kebingungan dengan dua pilihan. Mau naik apa tidak ya? Kalau naik, takutnya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi kalau tidak naik, ngapain saya di sini. Jauh dari kost. Jauh dari rumah. Jauh dari keluarga. Pokoknya jauh dari mana-mana.
Saya pernah diceritai sama salah satu tetangga saya di Nganjuk sono. Katanya ia pernah dirampok gara-gara naik bis sendirian. Sedangkan bisnya masih sepi tidak ada orang. Mungkin dia mikirnya mending naik duluan. Kan bisa milih kursi bis yang bagus. Kursi bis kan tidak semuanya bagus. Ee.. maunya mau dapet yang enak, jadinya malah dirampok. Nah, dari pengalaman tetangga saya itu saya jadi tahu kalau naik bis sendirian dan sementara bisnya belum mau berangkat dan bis dalam keadaan sepi tidak ada orang, mending tidak usah naik dulu. Kita harus menunggu sampai ada orangnya dulu. Biar tidak terjadi seperti apa yang dialami tetangga saya.
Setelah menimbang-nimbang dan ternyata tidak imbang-imbang karena memang nggak ada barang yang ditimbang, saya memutuskan untuk menunggu walaupun sebentar saja. Lumayan, sambil istirahat setelah jalan-jalan santai dari Nggebang ke Mberatang. Sambil istirahat, kudendangkan sebuah lagu manis dari Tetty Kadi berjudul Sepanjang Jalan Kenangan. Tentu saja tidak seperti Tetty Kadi yang suaranya lembut dan mene-nangkan hati, tapi dengan suara serak-serak basah yang saya miliki dan dengan teknik vokal ciri khas saya yang lain dari pada yang lain. Yang merupakan kolaborasi dari penyanyi-penyanyi terkenal sebagai berikut: Suaranya seperti Ari Lasso dan ada Glenn-nya sedikit, teknik vocalnya milik Rio Febrian plus Cranberries dengan suara kecepit yang khas. Masalah gaya, saya pakai gayanya Chrisye yang nonekspresi.. Ternyata, dengan kolaborasi beberapa penyanyi terkenal tersebut, lagu yang semula mellow menjadi sedikit ada sentuhan ‘ar_end_bi’-nya tapi nonekspresi.
Trus bagaimana dengan masyarakat sekitar? Apakah tidak aneh mendengar nyanyian saya? Ooo… tentu tidak, saya menyanyi sesuai dengan lagunya Warna:. “Dalam ha..ti saja…a…”
Setelah bangga mendapatkan eplous penonton dari dunia lain, saya merasa kok lelah ini tiada kunjung hilang. Kenapa ya? Oo… iya ya, saya tadi kan istirahatnya sambil berdiri. Waaah sama juga bohong dong. Tapi yang penting hati saya sudah tenang, pikiran tidak setres lagi. tapi, kok bus kotanya masih seperti tadi. Masih diam saja dan tidak ada tanda-tanda mau berjalan. Kupasang mata lurus ke depan lalu kuputar kepalaku derajat demi derajat dan ketika mencapai 90 derajat, leherku sudah mentok tidak bisa digerakkan untuk menuju derajat yang lebih besar lagi. Lalu kukurangi derajat demi derajat sampai sebesar 90 derajat lagi. Kulakukan berulang-ulang untuk mendeteksi apakah ada orang yang mau naik bis kota ini. Setelah kulihat-lihat, ternyata penumpang yang menung-gu seperti saya tidak ada. Tentu saja tidak ada penumpang yang naik, soalnya keadaan hari sedang hujan. Ngapain ke terminal mbungur malam-malam, hujan lagi. Mending pulang besok pagi kan lebih enak. Tapi saya lain. Saya harus pulang hari ini juga! Kenapa? Udah terlanjur sampai di sini dan sepertinya tidak mungkin bisa kembali ke kost-an lagi, soalnya jam telah menunjukkan pukul 10 malam dan Len-len sudah tidak beroperasi lagi melewati jam sembilan malam. Mau nelfon teman Surabaya sebenarnya bisa, tapi saya nggak mau kembali ke kost-an lagi apapun alasannya. Maksudnya?? Begini ceritanya….
*******
Ketika aku dinyatakan masuk jurusan Statistika ITS. Setengah bulan kemudian aku langsung berangkat ke Surabaya ditemani kakak perempuan saya untuk keperluan daftar ulang. Tapi setelah daftar ulang selesai, aku langsung pulang. Jadi, disaat mahasiswa baru lainnya menggunakan waktu untuk mencari-cari kost, aku malah pulang dengan alasan mencari kost itu gampang. Bisa dipikir belakangan. Yang penting daftar ulang selesai.
Seminggu kemudian adalah waktunya mahasiswa baru diberi pengarahan dari Institut mengenai seluk-beluk menjadi mahasiswa ITS beserta aturan-aturan yang berlaku selama menjadi mahasiswa (atau biasa disebut IPT=Informasi Perguruan Tinggi). Setelah IPT selesai, Atas pesan ema’ di rumah, aku harus mencari kost-kostan secepatnya. Supaya tidak nginep terus di kostannya temanku. Kebetulan sekali aku seruangan dengan temanku SMA pada waktu IPT. ternyata ia juga belum dapat kostan. Lalu kuajak dia untuk mencari kost bersama. Karena kampus temanku itu di Manyar , maka mau tidak mau aku menemani temanku mencari tempat kost dahulu. Karena di Surabaya ini dia belum tinggal di mana-mana alias masih klontang-klantung. Sedangkan aku kan sudah punya tumpangan kost. Jadi nggak terburu-buru amat untuk mencari tempat kost baru. Setelah jalan-jalan sebentar, temanku langsung dapat kostan. Ia merasa lega sekali. Tempatnya lumayan enak dan dia langsung tinggal di situ. Sebagai rasa terimakasih telah saya antar, dia mau membalas budi dengan mengantarku ke Gebang.
Setelah menunggu lumayan lama akhirnya aku dapat juga len yang masih kosong. Tapi ternyata tempat duduk yang kosong cuma satu. Akhirnya kami memutuskan untuk saya saja yang pulang. Dia tidak ikut. Aku sendirian saja. Jadi kamu tidak diantar dong? Ya enggak!! Kasiaaaan…. deh!! Ah ‘mama’ (maksudnya ‘nggak papa’). Yang penting nggak ‘kasian deh lo’.
Dengan pedenya aku memencet bel berhenti di dalam len setelah merasa aku memang sudah melewati daerah Gebang. Tapi pemirsa, ternyata kenyataan dipihak lain. Ternyata aku masih di daerah Asrama Haji Sukolilo. Goblok! Sok tahu banget sih gue!! Dengan penyesalan yang mendalam, aku berjalan menelusuri jalan yang masih asing bagi diriku dan diriku tidak tahu harus ke mana. Diriku bingung mau tanya siapa. Soalnya sepi nggak ada orang sore itu. Tapi aku tetap bisa mengatasi. Wes jan ra uenak tenan rasane.
Setelah menghitung benik (kancing ) di bajuku ternyata aku harus belok ke kiri. Kutelusuri jalan itu sampai aku menemui prapatan. DONCLENG!!! Menggok nang ngendi iki??. Dengan jurus sapu jagat menggunakan hitungan benik seperti yang tadi, ternyata aku harus belok ke kanan. Kok bentuk jalannya masih sama kayak yang tadi ya? Pancen Suroboyo iku dalane meh podo-podo. Karena bingung apakah arah yang saya tuju ini benar atau tidak, maka saya bertanya kepada seseorang yang nongkrong di warung. “mas, nyuwun sewu, ITS niku pundi?”. Karena saya bertanya menggunakan bahasa planet jawa, maka seseorang tersebut bingung mau ngomong apa. Tapi saya tau kalau seseorang tersebut paham apa yang saya maksud. Lalu dengan bahasa campuran antara planet jawa dan planet Indonesia ia mengatakan, “sampean jalan mrono teroos, lha kalau wonten bunderan, lha ndek sana
itu ITS”. Dengan bahasa campuran juga kuucapkan, “matur kasih, mas nggeh”. Wonge langsung mlongo.
Kutelusuri jalan yang dimaksud dan sampailah saya di ITS. Dan lama kemudian sampailah aku di Gebang. Sambil bertanya-tanya tentang kostan kosong di setiap rumah aku menuju tempat kost nunutanku. Ternyata setelah ditolak beberapa kali, akhirnya aku men-dapatkan kostan yang bersih, indah dan permai. Tapi dengan ibu kost yang gosipnya nih, lumayan killer!. Tapi saya belum tau bukti. Maka aku jalani saja hidup ini. Lupakan semua mimpi-mimpi yang tak berarti. Setelah beberapa lama menjalani hidup di kost baruku itu, baru terasa betapa nggak nyamannya berada di situ. Saya tidak boleh mencuci baju di pagi hari dan malam hari. Karena kuliah saya pagi sampai sore, maka alhasil aku tidak pernah merasakan umbah-umbah di hari senin sampai jum’at. Saya baru bisa umbah-umbah kalau hari Sabtu dan Minggu. Itupun harus antri lamaaa.. dengan pemilik kost. Karena airnya sangat itir-itir. Busyeee..tt lama banget sih airnya. Kok nggak seperti di Nganjuk yang semprotannya mantap!. Selama mencuci saya selalu dipliliki terus atau minimal dilirik dengan pandangan sinis yang kayaknya benciii banget denganku. Lirikan matamu, menyayat hati…. oh senyumanmu sinis sekali…. sehingga membuat, aku curiga.. ha.. ha.. Aku heran kenapa nek omong nggetak-nggetak seperti sedang marah? Saya sebagai orang kulonan yang mempunyai pribadi halus dan lembut dan tak biasa diajak ngomong kasar menganggap nasehat-nasehatnya sebagai cacian yang sangat menyayat hati. Hari-demi hari aku jalani dengan tekanan batin. Ibu kost selalu memantau keadaan anak kostnya. Ia sampai mengintip ke dalam kamar tanpa ada tujuan. Ia hanya curiga. Entah apa yang ia curigai. Jadi tiap gerak-gerik harus saya batasi. Harus bertingkah sewajar mungkin. Sesopan mungkin. Dan setidak-mencurigakan mungkin. Sehingga gue kagak bisa all out gitu loh! Alias nggak bebas banget abis gituloh! Sumpeloh??? Pernah karena ingin ngirit, maka teman kostku membuat sensasi dengan membawa kompor. Sehingga ada acara masak tiap pagi. Ibu kostku berfikir kalau ada acara masak-masak, berarti ruangan sekitar akan kotor. Tentu saja ia tidak mau hal itu terjadi. Sehingga ‘cara’ ia mengatakan tidak boleh adalah dengan mengomentari setiap perkataan dan perbuatan waktu memasak. Seperti pernah pada suatu hari ia bertanya, “ngoten niki, nopo saget mateng segone?.
Dengan santai aku menjawab, “nggeh saget, lawong digodog sampek umup”. (Maksude ibuke iku opo to? awakmu ngerti gak?). Pernah juga ibu kost bilang, “lho, temboke ngko ireng kenek beluke kompor”. Padahal ketahuilah pemirsa bahwa saya sudah menjauhkan kompor supaya tidak terlalu dekat dengan tembok. Waktu itu aku pikir nggak papalah diperingatkan sekali-kali. Ternyata peringatannya nggak sekali saja. Tetapi berkali-kali banget. Sepertinya ia suka mengomel. Atau istilahnya cerewet. Sampai saya bosan abis. Tapi nggak papalah kalau cuman berkali-kali banget hal itu membuat saya jadi…. ingat banget. Sehingga tingkah lakuku sehari-hari menjadi sangat terkendali banget. Ibuku bilang, nggak papa diperingatkan. Karena hal itu baik untuk saya. Ah …nggak banget!!.
Pernah waktu pulang aku curhat dengan sang ibu di rumah. “Tapi buk, setiap gerak-gerik apapun selalu dipantau, apakah hal itu tidak berlebihan”.
“Yo gak popo Ndop, ben awakmu gak bertingkah sembarangan.” Setelah berdebat dan saya dalam posisi kalah, aku memutuskan untuk tetap tinggal di kostan itu karena memang murah, bersih dan putih. Dibanding dengan kostannya temanku yang lebih mahal, masih sangat bagusan kostanku itu. Trus apa hubungannya dengan peristiwa ini? Ya, ada dong. Kalau saya balik ke kost-an. Ntar apa kata ibu kost nanti. Saya kan udah pamit mau pulang kampung. Kalau ternyata saya balik lagi ke kost. Ntar dikira pembohong lagi. Wong saya bertingkah laku wajar saja sering dimarahi, apalagi kalau berbohong, bisa melayang nyawa gue. Lagian kalau saya tidak ada di kost, dia kan bisa ngirit air dan listrik. Kalau saya balik lagi berarti dia harus nanggung biaya listrik dan air dan cara ngungkapin tanggungan listrik dan air adalah dengan memantau setiap tingkah laku dan perbuatan anak kostnya, agar jangan sampai melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Dan hal itu buat anak kost seperti saya hanya akan menambah stress di kepala.
*******
Saya telah menunggu selama seperempat jam lamanya. Tetapi masih juga tidak ada yang mau naik ke bis. Akhirnya……. Dengan berat hati……. Dengan tekat bulat…… saya memutuskan untuk mengambil keputusan yaitu mlaku ae wes !! kok keputusannya singkat sekali? kupanjatkan doa kepada-Nya. Mengharap keselamatan jiwa dan raga. Supaya senantiasa tentram adanya. Dijauhkan dari mara bahaya.
Kulangkahkan langkah pertama perlahan-lahan dengan mantap. Mak plek!. Kunikmati langkah demi langkah. Kujajaki setiap tempat tanpa ada hambatan yang signifikan. Kupandang lurus ke depan. Sambil sesekali nglirik ke bawah. Kali aja ada uang jatuh kan lumayan. Sering lo saya nemu uang di jalan. Saya pernah menemukan uang seratus berturut-turut sampai lima kali selama perjalanan dari masjid Manarul Ilmi menuju Jurusan Statistik. Bukankah hal itu amazing? (Bukaaaaaan…!!!). Hebat juga kamu Ndop, belajar dari mana? Ooo…itu… begini ceritanya…
******
Dulu waktu masih muda dulu, saya sering diajak main ke lapangan rumput yang luas. Lapangan itu habis dibuat acara semacam pasar malam, yang ada dremolen-nya itu lo. Nah, di lapangan itu saya diajari masku untuk selalu melirik ke bawah kalau sedang jalan. Saya belajar hal itu selama enam bulan alias satu semester. Satu semester? Kayak kuliah aja. Memang kuliah kok. Tapi kuliahnya lain, kuliahnya setiap hari Minggu pagi pada saat malam minggunya ada acara seperti pasar malam. Saya berkuliah di Fakultas Penemu Jurusan Pasar Malam. di akhir semester saya mendapat nilai yang memukau yaitu AB. Ujiannya sangat gampang. Cuma disuruh jalan sambil melirik ke bawah sampai menemukan uang. Tapi ada syarat-syarat tertentu waktu berjalan tersebut. Jalannya harus menyeret dengan kaki agak menekuk. Mata harus dibuka lebar-lebar, badan sedikit dibungkukkan, mulut sedikit menganga. Katanya agar rejekinya bisa masuk melalui mulut. Persyaratan terakhir adalah harus mengatur nafas sedemikian rupa sehingga udara yang dihirup harus lebih banyak dari udara yang dihembuskan. Katanya lagi hal itu dilakukan agar rejeki yang didapat lebih besar dari pengeluaran kita. Pembagian nilainya adalah: nilai A untuk menemukan uang lebih dari Rp. 5000,-. Nilai AB untuk Rp. 2000,- sampai Rp. 4900,-. Muncul ide gila, kebetulan saya punya uang cuman Rp. 2000,-. Eee…saya taruh saja uangnya di lapangan pada waktu malam sebelum ujian. Paginya ketika ujian, saya langsung menemui uang itu. Alhasil kakak saya juga ikutan bangga karena dia telah berhasil membuat anak didiknya mahir dalam menemukan uang di lapangan. Waktu saya diwisuda, ia memberikan ijazah dengan nilai memuaskan kepada saya. Saya bangga menerimanya. Atas keberhasilan kakak saya dalam mendidik saya tersebut, hingga saat ini ada sekitar 100 orang anak didik kakak saya yang masih sedang kuliah. Dia juga sudah membagi dalam tiga jurusan. Diantaranya yaitu: Jurusan lapangan pasar malam, lapangan alun-alun dan yang terakhir lapangan bola. Untuk lapangan bola, masih dibagi menjadi 3 program studi, yaitu: lapangan bola sodok, lapangan bola bowling dan lapangan bola pingpong. Memangnya di lapangan bola sodok, ada uangnya? Lha, kok pakek nanya segala. Ya jelas enggak dong! Jadi, cerita kamu yang panjang tadi..?? iyak benar, aku cuma bohong!
******
Waktu dalam perjalanan menuju mbratang tadi, aku sempat berhenti sejenak di depan sebuah swalayan. Sebenarnya saya tak kuasa menahan hausnya tenggorokanku. Tapi saya tetap menahannya karna saya harus sesuai dengan komitment dari awal bahwa saya harus jalan kaki saja tanpa ada minum.
Jalanan masih terlihat ramai. Padahal malam hampir melarut. Sekali lagi tanpa terasa saya sudah sampai ke jalan Prapen. Memang saya itu orangnya nggak pernah merasakan apakah badan sudah lelah atau belum. Tapi rasa-rasanya memang belum lelah. Tidak seperti yang saudara-saudari kira. Mungkin saudara-saudari mengira bahwa perjalanan dari Gebang Bungur itu sangat-sangat melelahkan bahkan memvonis orang yang melakukan adalah orang gila!. Padahal kalau saudara-saudari mau mencoba sendiri, saudara-saudari akan merasakan betapa salahnya anggapan saudara-saudari. Salahnya adalah pada kata ‘sangat-sangat melelahkan’.. Menurut Ejaan Yang Disempurnakan, yang benar adalah ‘sangat’-nya satu kali saja. Jadi yang benar adalah ‘perjalanan dari Gebang ke Bungur itu sangat melelahkan’. Tahu jalan Prapen? Itulo yang ada SMUN 16–nya. Saya dulu SPMB di situ. Sama temanku. Oh, iya, bagaimana kabarnya temanku tadi ya. Waduh, saya sampai lupa nyritain tentang dia. Jie..tentang dia, emangnya pilem? Ternyata dari jam setengah sepuluh sampai jam sepuluh dia mondar-mandir di daerah Gebang tempat kostku berada. Memang dia tidak mengerti tempat kostku. Soalnya dia tidak pernah ke kostanku. Dia kan anak orang kaya. Jadi mungkin saja dia gengsi untuk main ke kostan yang tidak selevel galaxy. Tapi tidak papa. Tidak masalah. Dan juga ternyata dia nunggu telefon dari jam delapan sampai jam sembilan. Eh, jaman dulu tidak kayak sekarang. Dulu jarang ada yang punya hape. Bayangin kalau ada hape, mungkin saya tidak pernah ngalamin cerita ini. Tapi saya juga berterima kasih atas tidak adanya hape. Karena kalau ada hape, tidak mungkin saya bisa buat cerita ini. Pilih mana? Ada
kan anak orang kaya. Jadi mungkin saja dia gengsi untuk main ke kostan yang tidak selevel galaxy. Tapi tidak papa. Tidak masalah. Dan juga ternyata dia nunggu telefon dari jam delapan sampai jam sembilan. Eh, jaman dulu tidak kayak sekarang. Dulu jarang ada yang punya hape. Bayangin kalau ada hape, mungkin saya tidak pernah ngalamin cerita ini. Tapi saya juga berterima kasih atas tidak adanya hape. Karena kalau ada hape, tidak mungkin saya bisa buat cerita ini. Pilih mana? Ada hape, atau tidak ada hape?
Suasana terasa mencekam. Seperti di filem-filem horor. Bayangkan saja . Suasananya gelap sekali. Cahaya hanya berasal dari sinar lampu mobil dan sepeda motor. Bayangin lagi kalau tidak ada mobil atau motor yang lewat. Iiih..syerem!! au’ah gelap!
Semua kendaraan bergerak begitu cepat layaknya sedang dikejar pesawat ruang angkasa yang mau menghancurkan bumi dan seisinya . Hanya saya seorang diri yang berjalan kaki menelusuri jalanan yang remang-remang. Semakin malam kendaraan semakin jarang. Jadinya cahaya yang menerangi jalanku semakin sedikit saya peroleh. Memang ada lampu di atas jalan. Tapi jaraknya jauh-jauh. Jarak lampu satu dengan lampu yang lain mungkin sekitar lima belas meteran. Terangnya lampu hanya sekitar lima meteran. Jadi yang gelap adalah 15 meter – 5 meter = 10 meter. Perbandingan antara gelap dan terang adalah 5:10 meter. Atau satu dibanding dua. Jadi dapat diartikan setiap saya merasakan satu kali terang aku akan merasakan dua kali kegelapan. Woou,, matematika sekalleee.. (gak lucu… gak lucu… turuuun !!!!)
Ternyata pemirsa, secara tiba-tiba. Saya melihat sesuatu. Sesuatu yang tiba-tiba saya lihat dan yang saya lihat adalah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Ingin tahu seperti apa sesuatu yang saya lihat secara tiba-tiba tersebut, kamu-kamu akan mengetahuinya setelah yang satu ini. Eh, tidak deng, sesuatu itu adalah temanku. Lho, kenapa temanku? Temanku pemirsa, temanku melewati jalan Prapen. Jalan yang sama dengan yang saya lewati. Ia melesat kencang. Kencaang sekali. Apakah kamu tidak salah terka Par ? Oou tentu tidak, saya tahu benar jaket yang ia kenakan. Jaket putih, helm merah, tas Rotring gratisan dan motor Honda grand. Saya yakin itu pasti dia. Tanpa disuruh siapa-siapa lagi karena memang tidak ada siapa-siapa lagi di sana, saya memanggil dia dengan tidak lantang. Alias males-malesan. Kenapa tidak dengan lantang supaya ia mendengar? Yee… bagaimana dia bisa denger suara saya, la wong waktu saya mau memanggil, ada bis yang lewat di sampingku dan bis itu menghalangi pandanganku ke depan ke arah temanku. Jadinya waktu bisnya udah menjauh, temanku semakin menyemut karena semakin jauh. Tahu artinya menyemut? Kata menyemut saya ciptakan pada tanggal enam maret duaribu lima dengan arti: mengecil seperti semut!
Saya masih berjalan dengan pelan tapi pasti. Menelusuri jalan yang sepi. Sepi akan pejalan kaki. Membuatku tetap sendiri. Tak ada orang yang menemani. Akankah saya terus begini. Dan mungkin bila nanti. Kita akan bertemu lagi. Satu pintaku jangan…. hoi, kok malah nyanyi sih! Tidak papa, dari pada nganggur. Wong jelas-jelas gak nganggur kok dibilang nganggur. Tanpa terasa saya udah mengakhiri sepanjang jalan Prapen. Dan saya mulai lupa kemana lagi saya harus berjalan. Waduh gawat, saya lupa! Waduuuuh, piye iki? Kalau saya nanya ke orang di malam-malam begini, apa tidak bahaya tuh. Soalnya penampilanku saja sudah mengundang hawa kejahatan. Saya kan orangnya lugu. Ndeso. Jek gampang dibujuki. Aku nggowo duit akeh. Trus saya jelas wes kesel. Sikilku pegel kabeh. Jadi untuk pembelaan diri rasanya sudah tidak mampu. Wes jan koyok wong ilang. Utowo mirip wong edan. Mosok enek wong waras bengi-bengi mlaku dari Gebang ke Bungurasih. Setelah memutar otak dam menenangkan pikiran serta meditasi yang cukup, tersirat sesuatu di otakku. Ting! Ideku muncul. Grusak-grusuk saya buka tasku. Kurogoh semua isinya. Waduuh, di mana ya? Nah ini dia peta saya!! Ternyata pemirsa, peta itu ada di lapisan bawah sendiri. Ditindihi dengan gombal amoh. Kukeluarkan peta itu dari tasku. Waa.. luset, gak popo lah. Tak telusuri jalan yang telah saya lewati. Jari telunjukku menunjuk jalan Prapen yang ada di peta. Kugeser jariku ke atas dan ternyata menurut peta saya harus belok ke kiri trus muter trus belok ke kiri lagi. Yes! Untung ada peta. Kumasukkan peta ke dalam tas. Saya berjalan lagi sesuai dengan arah yang pasti.
Tak terasa sudah dua jam lebih saya berjalan tanpa henti. Ee.. ternyata sampai juga ke Jalan A. Yani. Alhamdulillah banget! Tinggal selangkah lagi. Maksudnya tinggal setahap lagi. Bukan satu langkah lagi. Masak jalan A.Yani yang panjang itu cuman tak tempuh dengan selangkah. Kan ya ndak to mas. Tiba-tiba sebuah bis melintas dengan malas disampingku. Rok..horok…horok vrem-vrem…Bis ke mana ya itu? Saya mendongak sedikit melihat apa nama bis itu. Tapi sepertinya percuma, soalnya dengan melihat nama bis saja saya masih tidak tahu mau ke mana bis itu melaju. Tiba-tiba dan tak terduga di benakku, bang kernet menyerukan suara merdu khasnya yang fals, “mbungur… mbungur..!!”, setelah kernet itu sangat dekat dengan saya sampai saya harus minggir sedikit dengan jurus njogetnya Usher, dia bilang, “mbungur mas?”. Dengan cepat saya menjawab, “mboten!”. Tapi sang kernet tidak mau menyerah. Dia menanyaiku sekali lagi. Tapi saya juga tidak mau menyerah, saya menggeleng tak mau. Mungkin dia tahu kalau saya sebenarnya mau ke mbungur untuk pulang. Karena dia melihat dandananku yang aneh bin ajaib. Masih ingat khan? baju rangkap lima
, tas nggedebel alias kebak isine alias lagi full capacity, muka merintih menahan udun yang perih, keringat menentes di kening, pelipis dan bagian lain yang tidak perlu disebutin satu-satu. Karena kalau saya sebutin satu-satu aku sayang ibu. Kalau dua-dua khan juga sayang ayah. Kalau tiga-tiga…?? Iyyak…benar, sayang adik kakak. Saudara tidak nanya ke saya kenapa kok menolak ajakan si kernet? Kalau tidak, langsung baca paragraf berikutnya. Kalau iya, yo wocoen iki: ehm, Terima kasih atas pertanyaan yang telah anda ajukan, mmm.. begini, saya menolak ajakannya karena saya harus komitment dengan niat saya dari awal, yaitu ingin memecahkan rekor dunia yang pertama, dan yang terakhir. Pokoknya ‘Dount tcrai thiz_et_oum deh’ atau ‘jangan pernah anda mencobanya di rumah deh’. Tetapi kalau saudara ingin melampaui rekor saya, silakan. Tapi ingat! semua keadaan, suasana, situasi dan kondisi harus sama dengan saya. Jadi kalau ingin melampaui rekor saya, anda harus udunan dulu, harus memakai baju rangkap lima, harus membawa tas penuh baju, peta, atau terserah pokoknya berat tasnya sampai lima kiloan dan juga tak lupa harus pada bulan puasa, malam jum’at, habis sholat tarawih dan situasinya harus gerimis dan dingin. Kapok kon, syarate huakeh!! Kalau anda bisa memenuhi syarat-syarat tersebut, tolong kirimkan biodata anda di selembar kartu pos ke alamat: jalan Cokro Aminoto … halah-halah-halah kakehan omong. Wes gak usah diterusne, ngentek-ngenteki kertas!
******
Sambil bernyanyi-nyanyi sampai kira-kira dua album penuh plus single terbaru yang dalam waktu dekat akan saya rilis di radio-radio, saya sangat menikmati perjalanan langka ini. Memang perjalananku sangat menyenangkan. Suasana malam mencekam saya anggap sebagai lukisan malam yang indah dihiasi langit penuh bintang. Saya jadi terharu, betapa indahnya dunia ini apabila kita melihat dari sudut pandang yang berbeda. Semua merupakan karya seni yang tak ternilai harganya. Rumah-rumah kumuh yang gelap berjejeran di pinggiran rel kereta api diterangi cahaya lampu dop sepuluh watt terlihat layaknya lukisan mahal yang indah. Karena asyiknya memandang indahnya malam, tak terasa saya sudah melintasi sepanjang jalan A. Yani. Saya menyeberang. Tidak gampang menyeberang di jalanan Surabaya yang ramai. Kalau di Nganjuk, tinggal menanti kendaraan sepi, kita dapat langsung menyeberang. Tapi kalau di Surabaya, kapan sepinya? Karena itu saya memberanikan diri melangkah lima langkah ke depan, dan ajaib sekali, semua kendaraan mengerem secara perlahan. Saya jadi ketagihan, saya maju lagi ke depan lima langkah, kendaraan yang tadi mengerem sekarang meluncur lagi. gantian kendaraan lain yang mengerem. Saya melangkah lagi dan lagi. Sampailah juga saya di bunderan Waru. Waaah..rekor tinggal sedikit lagi nih. Aku tak merasakan bahwa godaan dan rintangan akan datang menghadangku. Waktu saya sudah nyampe di Bunderan Waru, ternyata saya tak sendiri, beberapa orang ada di sana Surabaya yang ramai. Kalau di Nganjuk, tinggal menanti kendaraan sepi, kita dapat langsung menyeberang. Tapi kalau di Surabaya, kapan sepinya? Karena itu saya memberanikan diri melangkah lima langkah ke depan, dan ajaib sekali, semua kendaraan mengerem secara perlahan. Saya jadi ketagihan, saya maju lagi ke depan lima langkah, kendaraan yang tadi mengerem sekarang meluncur lagi. gantian kendaraan lain yang mengerem. Saya melangkah lagi dan lagi. Sampailah juga saya di bunderan Waru. Waaah..rekor tinggal sedikit lagi nih. Aku tak merasakan bahwa godaan dan rintangan akan datang menghadangku. Waktu saya sudah nyampe di Bunderan Waru, ternyata saya tak sendiri, beberapa orang ada di sana. Di dalam hatiku akui berkata: “Hari gini berada di sini ?!!”. Di situ ada seseorang yang sepertinya sedang menoleh ke arahku. Mungkin dia juga sedang bilang: ‘Ngapain hari gini berada di sini, mengganggu orang lagi senang saja. Udah item, keringetan, jalan kaki lagi’. Ye.. saya kan jalan kaki, jadi sudah tentu keringetan dan kulit hitam kan di Barat sono malah disukai. Dari pada elo, sudah putih, keringetan, naik motor lagi. Wong naik motor kok keringatan. Kulit putih? sudah tidak usum. Soale akeh sing wes nduwe.
Seseorang di sebelahnya membuat orang yang melihatku tadi mengakiri melihatku. Kayaknya wanita itu heran mengapa pacarnya menengok ke jalan. Sementara mereka kan lagi asyik berada di remang-remang malam di bawah pohon rindang yang sepi akan orang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Onok opo to mas?”, ucap wanita itu. “Gak ono opo-opo kok say”. Mereka saling pandang. Mata bertemu mata. Turun ke hati. Turun lagi ke perut. Turun lagi ke…..??? dan mereka melakukan sesuatu yang membuat mereka semakin paham pelajaran Biologi bab V yaitu bab Reproduksi. Kutengokan kepalaku memandang sesuatu yang lain saja. Melihat seperti itu saya sudah sering. Cuman makhluknya lain. Kucing pernah lima kali, burung merpati pernah tuju kali. Belum sampai 90 derajat saya menengok, terlihat seorang wanita berkulit putih, berambut panjang, bermata sipit, berdandan menor, bertubuh padat (emangnya benda padat), berbaju sleret-sleret merah, memakai rok span. Ia duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Busyeeet..!!! makhluk apaan tuuh!! Kok medeni. Saya semakin takut tatkala ia memanggilku. “Arep nang ndi mas??”, WHAAAAAAA!!!! saya langsung berlari sekencang mungkin. Tapi karena saya sudah sangat lelah banget-abis-gituloh-sumpeloh-plizdeh-gue-suka-gaya-loh, lariku jadi hanya berkecepatan 10 km/jam dengan kecepatan awal adalah 4 km/jam. Jadi saya hanya bisa meningkatkan kecepatan sebesar 6 km/jam. Saya terus berusaha meningkatkan kecepatan, tapi yang terjadi adalah saya mengalami proses perlambatan. Kutengokkan kepalaku ke belakang. Untuk mengecek apakah ia mengikutiku. Oo..ternyata ia tidak mengikutiku. Sebenarnya tidak apa-apa kalau dia mengikutiku, asal kakinya menyentuh tanah. Kalau nggak nyentuh, waaa… itu baru apa-apa. Ya sudah, kalau begitu aman. Saya sukses menyeberang dengan sisa tenaga seadanya. Saya jadi Ngos-ngosan. kuperlambat langkahku. Aku berhenti sejenak, kubungkukkan tubuhku kupegang dengkulku sambil ngomong hosh..hosh..!! kayak Chinmi di komik Kungfu Boy. “Wah, hampir saja aku kena kejaran wanita aneh itu”. Setelah lelahku berkurang, kulanjutkan perjalananku menuju rekor dunia yang wah tinggal dikiiit lagi. Ayo Faar!! Kamu bisa. Semenit kemudian saya telah berada di plang bertuliskan ‘SELAMAT DATANG DI SIDOARJO’. Kalau tidak salah seperti itu tulisannya. Berarti saya semakin dekat dengan Bungur. Hatiku senang lagi gembira tiada terkira dibuatnya. Karena saking semangatnya menuju rekor dunia, saya percepat lagi langkahku. Kalau misalnya irama langkahku dibuatkan peta eksbar-R, maka polanya akan naik turun, dan ada satu data yang melebihi batas pengendali atas. Sehingga bisa dikatakan proses berjalanku tidak terkendali. Untuk indeks Cp dan Cpk-nya mungkin lebih besar dari satu yang berarti sesuai target dan presisinya atau kecepatan antara waktu saling berdekatan. Kalau anda bingung, itu wajar. Karena sayapun juga bingung! Dasar!! Teori.
Saya sekarang sudah berada di terminal Bungurasih bagian belakang. Semenit kemudian sebuah bis melintas di depanku. Kaca bis itu bertuliskan: ‘Madiun’. Saya langsung menaikinya sembari bertanya pada kernet yang membukakan pintu bis. “Nganjuk pak?”. Ia mengiyakan. Saya mencari tempat duduk yang kosong. Dan kebetulan sekali tinggal satu tempat duduk yang kosong. Mungkin memang itu sudah menjadi bagian saya dan memang sudah ada yang mengaturnya. Anda semua pasti tahu siapa yang mengaturnya. Iyak benar! Yang mengaturnya tentu saja adalah ‘pengatur’!
Saya terjaga ketika sang kernet meneriakkan ‘lama kertosono…kertosono’. Dua setengah jam sudah saya terlelap di dalam bis dan untungnya saya terbangun sebelum sampai ke Nganjuk Setengah jam lagi saya sudah sampai ke kota kesayangan. Semua penduduk bis pada tidur terlelap dibuai mimpi. Suara bis yang tenang membuat para penumpang merasa nyaman. Setengah jam berlalu. Malam semakin dingin ketika melewati kabupaten Nganjuk. Angin semilir sepoi-sepoi memanjakan badan. Sang sopir masih dengan semangat mengendalikan bis (bukan kuda lo ya) walaupun peluh menetes di keningnya. Ia tidak menghiraukan betapa larut malamnya sekarang. Di saat semua orang beristirahat setelah seharian beraktifitas, ia masih bekerja mencari nafkah dengan mengantarkan semua orang ke tempat tujuan dengan hati sabar dan ikhlas. Hal itu ia lakukan semata-mata demi keluarga tercinta. Sungguh besar jasamu bang sopir. Gue suka gaya loh!
Setengah jam berlalu, saya sudah hampir sampai ke kota angin tercinta yaitu kota Nganjuk. Setelah sang kernet meneriakkan: “mastrip..mastrip!!”, Saya maju kedepan pintu siap-siap turun. Saya bukan turun di Jalan Mastrib tersebut melainkan di dekat monumen ADIPURA kira-kira semenit kemudian setelah melewati Mastrib saya menuruni bis. Saya berjalan sambil menghirup udara bersih kota Nganjuk tercinta. Suasana Nganjuk benar-benar sepi, hanya satu-dua orang yang melintas. Matsaya mengeriyip sepanjang perjalanan. Karena memang sedang dilanda kantuk berat. Kalau diidentikan dengan watt, mungkin matsaya ini sudah 0.5 watt. Kalau saya tidak bisa mengontrol diriku, bisa-bisa saya tidur sambil berjalan. Beberapa menit kemudian saya sudah sampai ke rumahku. Dan seperti biasa. Penduduk rumah belum KO semua. Ada dua ekor yang masih hidup, satu ekor adalah masku dan seekor lagi adalah temannya. Dua buah manusia tersebut sedang membetulkan motor yang sudah lima tahun tidak betul-betul. Maklum lah, rumahku kan bengkel. Kuucapkan salam, “salam lekoom..!!!”. Mereka terkejut dan spontan menjawab, “wa’alaikum salaam!!” sambil menoleh dengan terheran-heran ke mukaku yang hitam mengkilat dengan keadaan badan agak gemuk gara-gara baju rangkap lima, Lalu masku berbicara, “we kok mulih yah mene?”. Setelah bertanya ia kembali berkonsentrasi membetulkan motor yang rusak tersebut. Lalu aku menjawab,”Mas, aku mau mlaku teko mbungur.”. Sebenarnya jawaban saya itu tidak nyambung tapi sudah bisa menjawab pertanyaanya sekaligus menceritakan kejadian yang saya alami semalam. Tapi sepertinya dia tidak memperhatikan omongan saya, mereka masih sibuk ngutek-ngutek motor. Kuulangi lagi dengan kalimat lain yang intinya sama. “Eh, aku mau mlaku soko nggebang ning mbungur.” Karena baru menyadari ada makhluk lain yang berbicara dengannya, mereka berdua menoleh ke aku. Sambil sedikit berteriak, “HEE… MLAKU!!!”. “Injih mas!”. “haa…MOSOOK..!!!, awakmu opo gak nduwe konco, awakmu kok guoblok. Telfon koncomu kon ngeterne kan iso?!!”. “aku wes nelfon koncoku tapi… bla… bla… bla… dst.” Saya menceritakan semua kejadian yang telah saya alami sepanjang malam tadi. Penduduk rumah yang semula “KO”, menjadi bangun semua. Kecuali adikku yang masih bobok karena memang masih kecil. Mereka terbangun gara-gara masku yang ngomong lumayan keras. Penduduk rumah pada bangun satu-satu. Mulai dari ibu, mbak trus masku sing cilik. Semua kaget dan terheran-heran emangnya ada kejadian aneh apa yang menimpa rumah ini.
Dimulai dari Ibuk yang menanyakan keadaan saya sambil tidur tengkurap,”Ealaah ndoppar to, budal jam piro teko kostan?”.
“aku budal jam setengah songo, buk”. Dengan malas-malasan aku menjawab.
Ibukku memperbaiki posisi tengkurapnya menjadi mlumah karena ia merasa kurang sopan denga posisi seperti tadi,”lho kok lagek teko jam loro bengi?”. Ibukku menambah. Spontan masku menyerobot ngomong,
“de’e lo mlaku teko kostan moro mbungur, buk!”
“MLAKU..?!!”.
“he’eh”, saya bilang. Ibuku membalas sambil merubah posisi mlumah menjadi duduk dengan kecepatan yang maha cepat. Mata yang awalnya hanya setengah watt kini berubah dengan maha cepat menjadi 100 watt. Sehingga saya menjadi silau demikian juga dengan penduduk rumah yang lainnya. Semua penduduk rumah juga pada menaikkan watt matanya. Mbakku yang awalnya melek satu watt berubah 60 watt, demikian juga dengan masku cilik yang awalnya melek seperempat watt naik cuman 15 watt. Soalnya hobi masku yang cilik itu memang tidur. Alias mbathang. Oh, iya, masku cilik itulah yang mendidikku waktu aku kuliah Fakultas Penemu Jurusan Lapangan Pasar malam yang pernah aku ceritakan di awal tadi. Hebat ya?!
Masku kembali menerangkan,”padahal gebang mbungur iku podho koyo Nganjuk Pace lo buk!”.
“Bii…yuuh, uuadoh men, saiki we kuesel no?!”. Sebelum ibuk mengakhiri kalimatnya, cepat-cepat aku mengiyakan dan mungkin karena kasihan maka dengan segera saya disuruh makan sahur sekalian, habis itu tidur. Semua penduduk rumah tertegun mendengar ceritaku. Dari mbak, mas cilik, mas gedhe, koncone masku, semua memandangku dengan memelas. “Woalah Ndop, Ndop”, mbakku ikut bergabung.
Saya langsung trtidur dengan maha lelap setelah makan kenyang dengan lawuh seadanya. Memang sudah dari kecil saya dilatih makan seadanya. Tujuannya adalah kalau diberi makanan yang biasa jadi terasa luar biasa. Jadi kalau misalnya diberi ayam, saya seperti makan tempe. Soalnya ayam kan rasanya biasa, jadi saya seperti makan tempe yang rasanya luar biasa. Sedangkan kalau saya diberi tempe, saya serasa makan jadah . Karena jadah adalah makanan modern yang kebetulan lebih saya suka dari pada ayam atau tempe.
Pagi yang dingin menyambutku. Aku terbangun dengan keadaan badan yang super pegal. Setelah sholat aku langsung ke teras depan rumah untuk menghirup udara segar yang mungkin bisa menjadi terapi untuk rasa pegal di badanku. Nganjuk masih seperti dua minggu kemarin. Masih segar.
Setelah jalan-jalan sebentar dan bersih-bersih rumah, kutelefon temanku yang tadi malam. ia bilang ia bingung muter-muter mencariku di Gebang. Saya jelaskan bahwa saya jalan kaki dari gebang ke Bungur. Ia langsung kaget terperanjat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Saya jelaskan sekali lagi bahwa saya telah menelfonnya berkali-kali tapi telfonnya rusak. Ia bilang bahwa memang telfonnya sering rusak. Kadang bisa, kadang tidak. Coba tadi telfonnya pas kena, pasti tidak bakalan terjadi hal bodho seperti tadi malam. Atau mungkin gini, coba tadi terfonnya pas kena, pasti tidak akan pernah ngrasa’in pemecahan rekor seperti tadi malam. Pilih mana ada ‘telefon’ atau ‘tidak’? Pilihlah telefon jadi pacarmu… yang pasti setia menemanimu… jangan kau salah pilih yang ‘tidak’… yang ‘tidak’ belum tentu… setia…. jadi pilihlah telefon…on…on…ooon…..
Thi_end !!
pertamaxx
posting terakhirnya hilman adalah: Rekaman Video pilot adam air
@hilman: sudah dibaca belooom… *fast reading terdeteksi*
sedang membaca… :)
*diterbitin aja, keren *
posting terakhirnya aRuL adalah: Thalassemia dan Jodoh
posting terakhirnya aR_eRos adalah: Akhirnya BBM Turun Harga
gak abis2 dibaca
posting terakhirnya iBnu adalah: Unitomo Cooperation With Japan Foundation
aq baringene gawe cerpen pisan…
haha…
terbitkan aj mas… mantaps
posting terakhirnya aCist adalah: Sebentar aCist
@aRuL: wow, masak?? makasih lo mas aRul atas dukungannya…
@aR_eRos: hayyah..
@iBnu: namanya juga novel…
@aCist: hohoho… bahasnaya perlu dirombak lagi tuh… biyar lebih gampang dipahami lagi.. thanks atas dukungannya..
latar belakang kota nganjuk
wahhh….
t0p deh…
bikin lagi dong boss! gimana kalo judulnya jalan-jalan dari nganjuk ke arab….
pasti lebih top tuh….
hahahahhaha…. emoh mas, aku saiki uwis lemu, gampang kesel… hahahaha…
ada versi pdf nya gk bro? Lumayan, buat koleksi…
dua hari baru kelar baca.
sempet bosan waktu baca di tengah2, tapi demi memuaskan rasa penasaran akhir ceritanya, jadi terpaksa tetap membaca sampai akhir.
hobinya sama bang, jalan-jalan.
suasana malam di kota emang keren euy….
kapan jalan lagi om?
hahahah.. aku aja gak mau baca lagi kok…
akakakakaa, memang jenaka… tp lum kelar bacanya. bsk lanjut agi
Ninggalin jejak dulu sebagai bukti udah ngubek2 blognya mas ndop
Wah cuma ceita wudun,aku juga pernah udunen
Huahahaha.. kamu baca semua? ini panjang banget!
buat yang lebih banyak lagi mas
panjang amat gan artikel nya, gak keriting jari ngetik nya?