WONG NDESO MANGAN PIZZA

In memoriam 25 Nopember dua ribulima dolo…

Menepati janjinya mbak Asfa, kutulislah apa yang terjadi beberapa saat yang lalu ketika diri ini masih sangat awamnya dengan makanan-makanan kota yaitu Pizza.

Fainnelli alias akhirnya, si ndop yang katrok pun mencoba yang namanya Pizza. Setelah 22 Tahun makanannya itu-itu saja. Tahu tempe, jangan bening, jangan asem, jangan bobor, jangan lombok de el el. Yang kesemuanya notabene adalah makanan ndeso. Eee… di sore hari yang teduh tapi masih terasa hangat itu, kami berdua, si endop dan Flypucino, jum’at-jum’at sedang sumringah-sumringahnya menaiki lyn O menuju Delta Plaza. Sebenanya sayalah yang sangat sumringah, karena entah kenapa si Asfa menraktirku ke Megdi (Mc. Donald, red.) Jum’at itu.

Setelah dipikir-pikir, jasaku yang nggak seberapa itu kok kayaknya terlalu dibayar mahal oleh mbak Asfa yang puas dan sumringah setelah melihat pesanan gambarnya jadi di luar ekspektasinya…

Seperti yang tertulis **dengan tulisan ceker ayam** di buku agendaku.. **halah, sebut aja diary, kok pakek ngeles segala**….

… adalah Asfa, de’e nraktir aku gara-gara de’e tak gambarne wajahe pacare. Jarene sih, uapik dan karakternya terlihat di goresan potelotku.

Hnnah, apa itu tidak berlebihan??

Padahal yang saya lakukan hanya mencontoh print-print-nan yang dikasihkan ke guweh. Kupenthelengi (kuamat-amati, red.) gambarnya, trus kuturuti aja naluri ini menggerakkan jari-jemariku menggoreskan sedikit demi sedikit, setip demi setip, kertas demi kertas… **hehehe.. aku bikinnya berulang-ulang… gara-gara kakehan nyetip, dadi kertase gak alus, ganti dengan yang baru…**

Dan akhirnya…. Taraaaa….. terjadilah kegemparan di dunia persilatan!!!

Jadilah pesanan gambarnya si Asfa Flypucino itu (eh, ndak tahu aku, kenapa dia kok menjuluki dianya sendiri dengan flai_puchi_nouw).
Aku kernyiti, aku plototi, kubandingkan dengan gambar prin-prinan, ah, kayaknya sudah jadi deh..

Kuulangi lagi… udah ah… besok dikasihkan langsung aja, ini sudah maksimal… bilang aja sudah mentok.. lagian tenaga ini sudah habis buat mikir, boyok ini merindukan kedatangan tukang pijet, jari jemari ini ingin segera dilerenkan karena emang pegal setelah 3 jam menggambar…

Keesokan harinya…

Dan ternyata di luar dugaanku. Dia pun juga menerima hasil di luar dugaannya…
Dan kami pun sama-sama merasakan kejadian di luar dugaan…

Dia seneng banget, saya ikut-ikutan semringah **worth it dengan segala perjuangan mendeliknya moto ini ketika menggambar, mencocokkan goresanku dengan gambar prin-prinan yang maha kabur itu… juga lampu kos-kosan yang tidak mendukung penerangan yang mantab**

Toh, kalau dia nggak sumringah pun, aku juga nggak papa. Soalnya sudah sering begitu. Nggambar susah-susah sampek selesai jam dua pagi, dibilangin, “lho, kok gak mirip???”. Padahal menurutku mirip banget. Juga pernah nggambar lamaa banget, nggak direspon sama sekali. Yaa.. namanya seni, tiap orang punya selera masing-masing. Termasuk saya.

Kembali ke jalan yang lurus..

Nggak banyak cingcong… dia langsung menawari aku makan terserah semauku. Namanya wong ndeso, mumpung ditawari semauku, bayanganku langsung Megdi. Oke deh, kita lalu bikin janjian berangkat bareng..

Pulang ke kosan, jum’atan..

Sehabis Jum’atan, aku langsung menyiapkan baju apa yang akan saya pakek. Aku nggak mau malu-maluin. Walaupun aku orang ndeso akademia wakil dari Nganjuk siti, aku harus membawa sitiku dengan sebaik-baiknya di kota besar macam Surabaya yang entah ndak tahu kenapa, orang Surabaya itu, kok selalu ngenyek (menghina, red.) orang Nganjuk ya??? Padahal Nganjuk lebih senior lo… bukan lagi senior, Nganjuk itu mbah-mbahe udeg-udeg gantung siwure Surabaya. Secara umurnya sekarang sudah seribu lebih. Lha Surabaya masih beberapa ratus kilo bait saja. (eh, tahun maksutnyah!)

Kita kembali ke jalan yang lurus…

Aku meninggalkan kos-kosan dengan langkah mantab. Sengaja nggak makan dolo. Biar nanti perutnya dibales-dendami ama hidangan Megdi..

Eeh… hapeku yang udik berbunyi.. ternyata ada esemes.. isinya kurang lebih si Asfa sudah naik len menuju Gebang.

Kupercepat langkahku. Yang tadi kusetting tiga perempat meter perlangkah, sekarang jadi satu meter. Dan… kol kuning itu pun mulai terlihat di ujung jalan gebang putih sana… itu paling lennya Asfa…

Ketika kol itu mendekat, kutengok-tengok isinya, eeh… itu dia ada di dalam. Ternyata dia juga sedang tengok-menengok ke luar. Alhasil ketika mata kita bertemu, semua menunjukkan ekspresi yang sama, yang kira-kira kalo diterjemahin dalam bahasa perasaan… “Eh, lawi…” atau “lha, dala…” atau “nah, itu dianya!!”

Aku harus memasuki len itu dengan rukuk sambil berjalan pelan-pelan. Sembari mengamati setiap kaki yang ada di bawah supaya nggak sampai terinjak oleh sandalku yang gedhe. Untungnya secara otomatis, penduduk len langsung merepet-merepet sekenanya supaya aku bisa dengan mudah melewatinya. Juga mungkin orang-orang di situ nggak mau berurusan dengan sentuh-menyentuh anggota badan yang belum jelas kehiginisannya. Aku juga begitu.

Beberapa saat kemudian… **bilang aja setengah jam kemudian… kok repot!!**

Kami berganti len E. Sebenarnya, kuat si kalau jalan kaki ke delta, tapi kami kompak menjadi gengsi sesaat. Namanya aja traktiran. Masa musti jalan kaki dulu… emangnya mau pulang kampung appah. Kalau pulang kampung kan turun len O langsung jalan kaki ke Gubeng… kira-kira sekilo bait. Eh sekelo meter maksudnya!

Sok ngejagain, aku pun berada di depan Asfa menuju Delta Plaza Suarabaya. **biar berasa menyebrangkan geto… hehehe.. padahal khan dia bisa nyebrang sendiri.. dia juga lebih berpengalaman di jalan tinimbang aku. Secara dia pernah dinobatkan menjadi Ratu Track se Kertosono siti!!**

Eee… betul.. akhirnya dialah yang menyalipku menyeberang ketika kami sudah sampai di tengah-tengah jalan… hihihi.. betapa malunya aku. Dengan mengayun-ayunkan tangan kirinya, dia berhasil menyulap kendaraan-kendaraan yang sombong itu untuk mengurangi kecepatan… dan dengan beberapa langkah kaki setengah berlari kami, akhirnya sampailah ke pintu masuk mol.

Untungnya si Heru Widianto sering-sering ngajak aku ke mol. Alhasil, rasa grogi sudah berangsur-angsur ilang. Juga sudah nggak perlu lagi kikuk ketika menaiki eskalator. Mungkin yang aku masih bingung waktu itu adalah toiletnya. Apalagi yang pakek acara duduk segala itu.. bukan ndodok alias jongkok kayak di kampung gue, aku berasa gimanaa… masak kok nggak ada airnya buat cebok sih…

Ternyata e ternyata, ada untungnya ikutan Indonesyen aideul kemarin. Aku jadi tahu caranya makek tuh toilet aneh.

Walaupun aku nggak mencobanya langsung, soalnya njijiki alias nggilani, nggak mantab kalau nggak ada bak mandinya yang beratus-ratus liter kayak di rumah gue. Alhasil, eksperimenku mencoba-coba toliet duduk itu, berakhir dengan manggut-manggutnya kepalaku tanda paham disertai bercecernya air hasil semprotan toliet itu di lantai yang seharusnya kering… hehehe… dasar wong ndeso.. nggak bisa mbayangin kalau aku sedang duduk di situ dan disemprot pakek air itu… hihihi.. pasti geli rasanya.. xixixi… nggak mau ah.. ntar acara duduk manisku berubah jadi cekikikan yang menggemparkan dunia persilatan seantero jagat raya!!

Sinar lampu di dalam mol terasa begitu terangnya. Sampai-sampai nggak ada bedanya antara siang dan malam kalau sudah di dalam mol. Pertama sih, si Asfa melihat-lihat di outlet merek luar negeri.. Yang jaga, orangnya tinggi-tinggi. Untung tinggi badanku nggak se-ndeso asalku. Juga Asfa. So, kami memang tidak mewakili tinggi badan orang Indonesia pada umumnya… so, lumayan mecing kalau masuk otlet merek luar negeri. **wuih sombongnya, mentang-mentang tinggi!!**.

At liiz, nggak dikira salah masuk gitu sama pelayannya. Cuman kalau mereka melihat kulit, waduh kalau yang ini nggak bisa bo’ong kalau aku asli kulitnya wong Tulungagung blesteran Nganjuk. Yaa.. coklat nom, sawo-sawo mateng ngono lah. Rodok nggilap titik nek kenek srengenge (matahari, red). Tapi kami berdua memang sudah membawa bekal pede segrangsing kok dari Nganjuk dan dari Kertosono.

Ehm, akhirnya tibalah acara yang ditunggu-tunggu… makan!!!

Eit, sudah magrib. Kami pun (untungnya) ingat sama Yang di Atas (baca: Alloh Subhanahu Wata’ala), kami sholat dulu. Hnaah, atas usul Asfa, kami pun sholatnya di Mc.D.

Tapi, ketika setelah sholat, mood kami untuk makan di sini (baca: Mc.D) kok ilang. Soalnya udah berasa mampir sih, walau cuma sholat doang… Sholat gratis! (yee.. di mana-mana yang namanya sholat gak ada yang bayar… kencing aja yang sok, pakek bayar segala. Padahal air yang dipakek wudlu itu lebih banyak dibanding yang dibuat cebok.. lagi-lagi yang dibahas cebok..)

Akhirnya setelah berbasa-basi sedikit dengan jurus keluguan orang ndeso, akhirnya saya berhasil membujuk Asfa dengan mudah untuk masuk ke Pizza Hut. Dengan alasan yang super ndeso, yaitu “selawase urip rung tau mangan Pizza”.

Susana di dalam warung Pizza itu sangatlah membuat diriku merasa ndeso di segala penjuru. Di sini saya benar-benar asing. Mulai meja makan, dindingnya yang warna-warni, lampu-lampunya yang kuning teduh itu, sofa-sofa empuk, orang-orangnya, eh, di sebelah kananku kira-kira tiga meteran, ada sepasang muda belia sedang pegang-pegangan, saling pandang, tertawa keciiill…mukanya berbinar-binar… Aku kayak sedang menonton sinetron-sinetron di tipi tapi di dunia nyata.

Masnya pelayan restoran datang. Aku pun agak-agak jaim-jaim dikit (I hate this situation!!). Ia menyodorkan menu-menu. Dan sudah bisa ditebak, saya dan Asfa pun hanya berbekal pengetahuan iklan di tipi mengenai menu-menu yang disajikan di sini. Akhirnya, bukannya milih menu, tapi milih harga! Tentunya yang pas sama kantong kering kita, atau lebih tepatnya, kantongnya Asfa. Karena nggak enak, karena aku yang ditraktir, aku usul pilih yang menu 1 delight berdua saja.

Beberapa menit, nggak lama. Kami pun disodori 4 potong roti kering tapi basah (halah, pegimane si maksutnya??). Namanya Garlic Bread. Rotinya emang kering, tapi ada kayak menteganya geto due..

Rasanya?? Gurih, hangat, renyah, standar lah, kayak roti-roti di acara nikahan. Lebih enak donat. Lebih enak gulai sate. Lebih enak krupuk sambel…

Beberapa menit lagi, nggak lama lagi, si roti pipih ndledek dan cocacola itu datang… mmm… nggak sabar… pelayan mengucapkan silakan.. aku langsung terdiam… melamun sejenak sambil memandangi roti itu… **Nggak pernah sampai terbayang akan merasakan Pizza… dulu aku hanya bisa menonton bentuk Pizza itu di tipi.. dan kayaknya nggak mungkin bisa merasakan tuh roti kapan pun.. karena memang nggak terpikirkan bagaimana punya duit buat beli roti mahal ini.. dan kalau pun punya duit, pasti bukan untuk dibelikan roti ini.. **

Sebelum memakannya, aku amati dulu peralatan yang ada di situ. Alat-alat ini nggak mungkin nggak beguna. Ini pasti musti dipakek. Si Asfa sudah makan dengan caranya sendiri. Aku masih termangu berfikir bagaimana bisa mengoptimalkan alat-alat yang ada di meja putih di depanku ini.

Dan mataku pun bergerak mengelilingi ruangan. Kedua belia itu masih berbincang-bincang lirih… dan tetap makan dengan caranya sendiri. Akhirnya aku menemukan sebuah keluarga yang pesen Pizza gedhe.. kuamati apa yang dia lakukan. Keluarga itu kayaknya sudah berpengalaman. Oo… ooo…. Gumamku sambil memraktekkan… aduh, lama-lama grogi juga ya? Mau makan kok pakek grogi…

Kubuka mulutku… kumasukkan potongan Pizza yang telah kuiris kecil-kecil dengan menggunakan pisau… aem… aku memakannya sesopan mungkin. Sangat pelan. Mmm…. Mmm….. begini toh rasanya roti mahal… pantesan mahal, lawong sedikit saja rasanya sudah kenyang.. kalau dibandingkan dengan panganan ndeso kayak sego pecel, emang worth it sih.. semua vitamin dan mineral (halah!) ada di sepotong roti itu.

Sosisnya, Kejunya, jagungnya, wortelnya, trus ada sensasi kriuk-kriuknya, aroma panggangannya… waow..!! huwennak tenan wis. Aku jadi rada-rada ragu ama pendapat orang yang katanya pernah nyobain Pizza. Dia bilang Pizza itu neg, nggak enak, mbeler-mbeler nggilani, kudu muntah ngliatnya, dll.

Kalau saya bandingkan dengan apa yang saya rasakan sekarang, aku jadi ragu, jangan-jangan mereka-mereka yang bilang itu sebenarnya nggak pernah makan Pizza.. cuma gengsi doang, biar dikira kaya.. trus sok belagu di depan orang ndeso kayak gue (wong ndeso kok ngomongnya “gue”??)

Pernah suatu ketika, pas aku ikutan Aideul. Namanya Aideul, tentu gengsi dong ngomong ceplas-ceplos pakek bahasa ndeso. Dan aku pun berhasil menjebak seorang cewek yang bahasa Indonesianya ceplas-ceplos. Lancar banget. Sok banget. Aku jelas-jelas nggak percaya 90 persen kalau tu cewek bener-bener orang Bandung atau Jakarta.

Akhirnya aku iseng aja nanya asalnya. Yang namanya audisi Surabaya, tentu saja pesertanya nggak jauh-jauh dari Surabaya. Mojokerto kek, Krian kek, Sidoarjo kek, Nganjuk kek (eh, kotaku tersayang disebut!!), Kediri..dll. Dan ternyata memang firasatku benar, dia dari Krian.

Glodak! Gillaa… gengsi banget tuh cewek. Mana tak ajak bahasa Jawa njawabnya Bahasa Indonesia lagi… lha, aku kan ilate wong ndeso, isone ngomong Jowo karo English sajjah!! Rait??!! **pengen muntah**

Pizza itu ditaruh di atas layah yang masih sedikit panas. Aku yang gak ngerti, iseng aja megang. Orang iseng memang banyak untungnya. Jadi tahu sembarang-mbarang. Coba kalau aku nggak megang tuh layah, 20 tahun kemudian pun aku nggak bakalan tahu kalau tuh layah masih panas. Berkat keisengan itulah, aku jadi saling bertanya sama Asfa. “eh, Fa, iki dingge opo yo??” sambil memegang pisau yang bening itu.

“Mboh yo? Cobak ae..”

“Sik, tak ndelok-ndelok wong-wong, apa yang dilakukan wong-wong kambek piso iki..”

“….”, masih makan Pizza secara manual.

“Ooh, ngene lo Fa… ,” sambil tangan kanan memegang piso, tangan kiri memegang garpu. Menancapkan garpu ke roti, mengiris roti pake piso. Dan taraa… aku bisaaa…

Asfa tersenyum… dalam hatinya, ‘Waduuh.. cah ndeso sitok iki kok ngisin-ngisini toh, tolah-toleh, plilak-plilih, aku tak ndingkluk ae lah.. isin aku..

Selesai juga makan Pizzanya, kami langsung jalan-jalan keliling-keliling Delta, kebetulan Asfa sudah familier sama Delta. Aku ngikut aja. Breeett…brreett…. Tuut… ttiiitt… pet! Aku pencet lah tombol hape yang mana saja tanpa perlu mengeluarkannya dari saku celana sebelah kananku. Suaranya yang 3 oktaf itupun mati. Baru kurogoh, kukeluarkan.. eh, ada sms dari mbak. “Ndop, nek awakmu mlaku-mlaku nang mol, titip kaos murah nang Matahari utowo Ramayana. Sing murah ya, sing diskonan”.

“Fa, nang Matahari yuk?”

“Ayyuk!”
Langkah kita besar-besar. Jadi cepet sampek. Di Matahari, nggak langsung menuju TKP (baca: umbruk-umbrukan). Tapi iseng-iseng dulu liat yang di depan mata. Yang pertama dicari pasti harga! Model ke sekian. Kadang, kalau strip harganya bersembunyi nggak kliatan, aku jadi sibuk membolak-balik bajunya. Kalau perlu sampai dirogoh-rogoh ke dalam… eee… tibaknya strip harganya di bawah.. Dieng!! Mahal banget!! Gak sido…

Ah, bosen, mahal-mahal semua. Langsung ke TKP aja…

Aku dan Asfa mengaduk-aduk isi kolam kaos itu. Diaduk sana-sini.. kayak milih undian berhadiah. “Eh, iki apik gak Fa?”

“Mmm… mbakmu sak piro wonge?”

“mm.. sak podho Sopik, tapi rodok duwur.”

“Keciliken….”

Asfa pun mencarikan…

“Iki lo Ndop.. apiik….” Katanya sambil memperlihatkan kaos warna lorek-lorek. ijo putih.

“Kok koyok napi ae, Fa,” Padahal waktu itu motif begituan yang lagi tren.

“Iki lo Fa, Apik,” sambil mengangkat kaos bermotif distro berwarna ijo kalem sablonan ijo tua kalem juga.

“Mmm… lumayan…,” Woalah Ndop, Ndop, pilihanmu kok gak ngetren blas to…

“Iki ae wis… murah meriah, delapan belas ribu.”

Aku menunggu Asfa yang juga pingin beli kaos..

Kami berdua pun melenggang sambil menenteng tas masing-masing. Mukaku sumringah banget. Sambil menggoyang-goyangkan tas kresek bertuliskan “matahari” itu.

Mungkin, kalau aku sekarang berada di Nganjuk, pasti bakalan menaikkan derajatku sebagai anak gaul. Karena kalau di Nganjuk, anak yang bawa tas kresek putih berlingkaran ijo matahari itu, berati orang kaya dan gaul. Sampai-sampai, tas itu di simpan di dalam lemari. Dan dipake lagi kalau belanja ke kota Nganjuk. Alhasil, toko-toko pakean di Nganjuk pun banyak mencontoh dizain tas matahari itu… tapi bahannya kayak tas kresek biasa.

Sekarang giliranku mengantarkan Asfa beli Flashdisk titipan temenku juga. Dapet merek Sony 128 MB, 143 Ribu. Masih mahal dibanding sekarang. Sekarang beli FD sama dengan beli kacang godok. Murah meriah.

Lanjuut…

Sekarang giliranku lagi, aku nggak nahan untuk lihat-lihat kaset.. ayoh ke toko kaset.

Kalau sudah di toko kaset begini, aku lama banget. Lihat cover-cover kaset yang maha dizain itu, cek album teranyar, best seller. Kalau sudah selesai, baru deh mencari-cari yang mau dibeli.

Tahu nggak kaset apa yang aku beli?
Kaset Bjork?
Bukan, soalnya sudah dicari pentelitan nggak ketemu. Mariah Carey? Sudah banyak bajakannya di rumah. Apa dong??

Yaitu…
Tetty Kadi

Hehehe.. aku suka juga lo sama Tetty Kadi… hehehe.. berasa tua ya.. yaa.. terkadang seleraku memang sangat aneh dan tahu nggak untungnya beli kaset-kaset lama. Harganya itu lo murah meriah. Sekeping kaset Tetty Kadi asli, orijinal, harganya duabelas ribu limaratus saja. **sekarang lagi hanting empithrinya Tetty Kadi nggak dapet-dapet**

Yess.. akhirnya petualangan kami pun berakhir dengan kegembiraan. semua pada menenteng tas pembelanjaan masing-masing. Fiuh.. lelahnya…

Pulang ke kosan, lelah banget. langsung nguantuk berat. tapi masih sangat semangat. akhirnya agar semangatnya habis, aku cerita-cerita dengan si Wiwit yang kecil. tak pameri rasanya Pizza. hehehe.. maklum dia juga dari ndeso. justru lebih ndeso dari aku. dia berasal dari Nganjuk ndeso. lha aku khan Nganjuk kutho…

Cerita panjang lebar sudah selesai.. mata ini nggak mau kompromi… zzz…zzzz…
***perut kenyang langsung lelap nggak pakek mimpi***

buat postingan kali ini, Ai Wud Laik Tu Thankz Tu Asfa Agustina Nusba Aini atas traktirannya yang emaizing!! seumur idup baru sekarang booo….. berton-ton thankyu buat lo Fa… tetap ber-Nganjuk ria yah!!!

19 Comments

Leave a Reply to A'Unk~en~LxmwCancel reply